5 - Kenangan Tangan Rentenir

6 3 0
                                    

Harris Steed masih belum bisa memejamkan matanya. Kesan dari mimpi tadi masih sangat kuat melekat.

Secara otomatis, kenangan-kenangan masa lalunya muncul di benaknya. Harris ingat dirinya bukan termasuk anak pandai di sekolahnya. Meski begitu, dia terpilih mengikuti tim futbol sekolahnya.

Dia merenung lagi, bahwa fisik yang kuat memang menimbulkan ilusi kuasa yang kuat juga. Harris jadi gemar merundung teman-teman sekolahnya, hanya karena dia yang lebih kuat. Mengganggu, memalak, bahkan memukuli teman sekolahnya, semua itu sudah pernah dia lakukan.

Dia lulus dengan nilai yang sangat pas-pasan. Begitupun dengan ketika dia kuliah. Harris mengenang bahwa dia dulu amat kesulitan menemukan pekerjaan, karena kemampuan otaknya yang memang kurang cemerlang.

Sampai suatu hari dia tak sengaja mendengar bahwa Pak Tua Noam sedang mencari pegawai. Pak Tua Noam terkenal sebagai rentenir kejam di kawasan tempat tinggalnya, tapi Harris tak pikir panjang. Dia langsung melamar lowongan tersebut, dan karena ini adalah pekerjaan yang sangat membutuhkan kekuatan otot dan tak terlalu membutuhkan kemampuan otak, dia diterima. Sebagai penagih, dan secara tidak langsung, sebagai tukang pukul.

Berapa banyak orang yang sudah kupukul? Pikir Harris. Sudah berapa banyak orang yang kubuat celaka? Dia ingat tentang seorang kakek yang pernah diseretnya sampai ke pinggir sungai, yang dia jatuhkan hingga tercebur kemudian dia angkat lagi, lalu wajah kakek itu dibenamkannya ke air sungai hingga beberapa kali. Semua itu hanya karena sang kakek masih belum membayar lunas bunga utangnya--meski sesungguhnya pinjaman pokoknya sudah terbayar.

Kenangannya sebagai kaki tangan rentenir menimbulkan rasa pahit pada diri Harris saat ini. Dulu memang dia tidak merasakannya, bahkan mungkin dia malah merasa senang dengan segala kegiatan menagih utang sekaligus menyiksa orang. Namun kali ini, seolah dosa-dosanya mulai berdatangan bak gerombolan anjing, di mana anjing terkecil mulai menggigit keras-keras kakinya hingga dia berteriak kesakitan.

Harris Steed masih terjaga. Dia melihat ke arah luar jendela, masih tampak gelap. Mungkin dini hari. Langit masih gelap gulita, dan biar bagaimana pun, itu bukanlah langit yang akan didatangi bianglala.

***

Silent West MotelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang