Harris mendapati dirinya berada kembali di kamarnya. Lubang besar dengan tangga yang menuju ke bawah itu kini sudah tidak ada, berganti dengan lantai biasa. Namun kemudian, Harris tidak bisa keluar dari kamar itu.
Dia tak bisa sekaligus tak mau. Di luar sana sudah tak ada lagi langit yang biru dan suara harmonika yang merdu. Ada pula perubahan lain pada kamar motel Harris. Jendela kamar itu kini tiba-tiba memiliki jeruji, kemudian pintu kamar itu tiba-tiba sudah terkunci dengan banyak rantai dan gembok.
Harris merasa di luar sana sudah tak ada lagi hal yang bisa disaksikan, dialami, dan dinikmati. Dia tengah menjalani hukuman atas kejahatan yang dilakukannya. Bisa saja ia berusaha kabur, tapi untuk apa?
Ada yang mengetuk pintu. Harris melihat dari lubang intip, rupanya Maria ada di depan pintu. Tapi ia tak hendak menemuinya.
Harris merebahkan tubuhnya di lantai, berusaha untuk tidak merasakan apa-apa lagi. Ketukan di pintu sudah tidak terdengar.
Maria mungkin sudah pergi, dan Harris merasa jiwanya tak layak ditebus.
Harris teringat, di hari itu dia marah sekali. Ia sudah bekerja sangat keras, dan sudah meluangkan waktu yang berlebih demi atasan dan perusahaannya. Namun memang demikian. Harris yang tak punya daya pikir cemerlang, dan hanya memiliki fisik yang kuat, biasanya selamanya hanya akan jadi sebatas pekerja atau buruh. Dan golongan mereka biasanya rentan dimanfaatkan.
Saat sang atasan lagi-lagi menolak waktu libur—yang notabene adalah hak Harris, maka Harris sudah tak bisa menahan diri lagi. Ini sudah bukan sekali dua kali, bukan juga sehari, dua hari, atau seminggu, melainkan sudah tahunan. Sudah seperti kronis.
Kemudian Harris merasakan lonjakan adrenalin yang tiba-tiba. Dia melesat ke arah atasannya dan langsung menghajarnya dengan tangan kosong. Kepalan tangannya menghantam kepala atasannya berkali-kali hingga lebur. Lantai jadi memerah karena darah.
Para staf dan pegawai yang kebetulan melihat peristiwa itu berteriak panik dan mulai berlarian. Harris tidak menghentikan penyerangannya. Ia kembali menangkap orang dan menghajarnya sampai habis. Dua orang, tiga orang, dia sudah tak menghitungnya lagi.
Amarah Harris mulai berkurang. Lonjakan adrenalinnya sudah mulai habis. Begitu saja, dengan cepat, Harris membuka pintu dan lekas keluar dari lokasi perusahaan itu. Dia mengendarai mobilnya secepat mungkin. Masih tidak ada tanda-tanda polisi datang.
Kini dia kembali di sebuah kamar di Silent West Motel, tempat dunianya saat ini berubah total menjadi semacam neraka personal. Ia bisa merasakan dinding-dinding kamarnya mulai mencibir dan menghinanya. Bahkan, ia bisa melihat wajah-wajah orang yang telah ia habisi, terukir di dinding kamarnya dalam posisi ekspresi wajah yang menderita.
"Kau membunuh kami! Kau membunuh kami!"
"Kau harus mati! Kau harus mati!"
Seluruh isi ruangan itu berteriak pada Harris. Harris sendiri pun berteriak sekeras mungkin, tapi suaranya lenyap tertelan oleh gemuruh suara-suara bersahutan dari kamar itu.
Dari kaca jendela tampak kabut yang semakin tebal. Namun entah bagaimana kabut itu berhasil masuk ke dalam kamar, menjadikannya gelap. Kemudian dari balik kabut itu, muncul sosok serupa manusia yang membawa segenggam pisau yang amat besar.
Sosok itu masih tak jelas terlihat. Meski demikian, ancamannya nyata. Saat akhirnya ia berada di dekat Harris, tampaklah wujudnya menyerupai orang yang kepalanya mengenakan topeng ayam seperti pada maskot Otto's.
"Nyawa yang hilang diganti dengan nyawa yang menghilangkannya. Aku algojomu."
Kata-kata itu yang didengar Harris sebelum ia merasakan sebuah tebasan di sekitar lehernya dan semuanya menjadi gelap gulita. ***

KAMU SEDANG MEMBACA
Silent West Motel
Tajemnica / ThrillerHarris Steed seolah mendapatkan momen kebebasannya. Ia merebut sabatikal/cuti panjang yang sudah ia idam-idamkan (dengan cara yang masih dipertanyakan). Ia melaju sejauh mungkin dari dunia lamanya, hingga suatu ketika ia berhenti di Route 285 Colora...