Part 13

8.6K 644 55
                                    

Happy Reading!

"Mama mau beli itu? Lihat! Warnanya sangat cerah, sangat cocok dipakai mama."ucap Lily semangat membuat Martha terkekeh. Setelah menanti sekian lama akhirnya ia bisa merasakan sensasi belanja bersama anak perempuan. Ya, karena akan menikah dengan putranya. Martha tidak akan segan lagi menganggap Lily sebagai putrinya sendiri.

"Kau pikir begitu?"tanya Martha dengan senyum anggun.

Lily mengangguk."Mama harus mencobanya."ucap Lily lalu keduanya melangkah memasuki toko.

Sedang di belakang, Max hanya terus mengikuti keduanya dan jangan lupakan lima paper bag yang kini ada di tangan kanan dan kirinya. Namun meski sedikit lelah, Max merasa senang bisa melihat mama dan calon istrinya belanja bersama.

Calon istri?

Max sampai bingung memikirkan ini. Entah siapa calon istrinya? Apa itu Lily atau Aini.

"Kak Max." panggil Lily membuat Max yang sedang melamun segera melangkah maju.

"Ada apa, no__emmmm" Max langsung menutup mulutnya. Hampir saja dia memanggil nona kepala Lily dihadapan mamanya.

Martha tersenyum."Tidak perlu malu. Memiliki panggilan kesayangan kepala calon istri bukanlah suatu kejahatan."

Lily menyeringai. Ini adalah kesempatan bagus.

"Kak Max memang pemalu, mah. Padahal jika tidak ada orang, kak Max sangat manja. Kami bahkan sudah ciuman."

Uhuk

Max langsung melotot kemudian menggeleng. Kapan mereka berduaan dan ciuman.

Sedang Martha tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Ia cukup terkejut atas perkataan calon menantunya. Tapi juga merasa senang. Karena itu berarti hubungan Max dan Lily bukan sandiwara seperti yang ia takutkan. Karena setahu Martha dulu putranya itu sangat mencintai wanita bernama Aini. Meski sudah ditentang, putranya tetap kekeh dan berakhir diusir dari rumah.

Jujur saja, saat Max membawa Aini ke rumah. Martha langsung tidak setuju, namun hal itu bukan tanpa alasan. Martha sudah mengetahui bagaimana perangai asli Aini. Wanita itu sangat kasar dan tidak sopan pada orang yang lebih tua. Martha menyaksikan sendiri bagaimana wanita itu memaki wanita tua yang tidak sengaja menumpahkan air ke pakaiannya. Tapi saat ke rumah, wanita itu berlagak baik dan bersikap santun. Benar-benar penuh kepura-puraan.

"Mama jangan percaya Lily. Dia bohong." ucap Max membuat Lily melotot.

"Oh ya? Sekarang kak Max harus jujur. Kita pernah ciuman atau tidak?"tanya Lily menantang membuat Martha menatap putranya menunggu jawaban.

"Tidak per__"Max diam saat dia mengingat kejadian di pantai. Apa itu termasuk ciuman?

"Tapi kan itu kamu yang__"

Lily menyeringai lalu segera bicara."Apapun itu tetap saja ciuman. Kak Max bahkan sudah memeluk tubuhku saat di pantai. Padahal aku cuma pakai pakaian dalam."

"Apa?"kaget Martha lalu melotot.

Max menggeleng panik."Mah, itu tidak seperti yang mama pikirkan."ucap Max membela diri.

Martha mulai merasa pusing lalu memukul lengan putranya.

"Mama tahu kalau Lily cantik dan tubuhnya sangat indah. Tapi bukan berarti kau bisa bersikap kurang ajar seperti itu. Bagaimanapun Lily masih muda dan kau sudah hampir kepala tiga."omel Martha. Berpikir bahwa apapun yang terjadi pasti karena pengaruh putranya. Apalagi saat Martha menatap ke arah Lily, wajah menantunya itu sangat polos dan pasti tidak mengerti apapun.

"Mama salah paham. Max tidak pernah melakukan apapun, justru Lily yang__"

"Apa kau mau menyalahkan calon istrimu atas kesalahanmu? Coba bayangkan jika orang tua Lily tahu masalah ini. Mereka pasti akan sangat sedih."ucap Martha dengan pikiran yang tidak bisa diganggu gugat.

"Iya. Tapi kejadian sebenarnya tidak seperti itu."

"Lalu seperti apa? Sudah! Pokoknya nanti malam saat pertemuan keluarga mama mau kita segera membahas pernikahan. Semakin cepat semakin baik. Mama tidak mau jika calon mantu mama hamil duluan karena pikiran kotormu itu."ucap Martha tegas lalu menarik lengan Lily keluar dari toko.

Max menghela napas lalu menatap beberapa orang yang sepertinya mendengar pembicaraan mereka.

"Ya ampun."gumam Max lalu segera keluar dari toko. Ini adalah pengalaman memalukan pertama yang pernah dia alami.

Sekarang Martha mengajak Lily makan di salah satu restoran milik keluarga. Keluarga Adian memang terkenal memiliki usaha di bidang kuliner.

"Apa kau bisa memasak, sayang?"tanya Martha lembut.

Lily menggeleng.

"Kenapa?"

"Karena papa tidak memberi ijin."jawab Lily jujur.

Martha tersenyum. Ia tahu bahwa menantunya itu jujur. Terlihat dari wajahnya yang benar-benar polos.

"Tidak masalah. Di keluarga Adian, memasak adalah tugas laki-laki."ucap Martha membuat Lily melotot kaget.

"Benarkah?"

Martha mengangguk."Jadi biarkan Max yang memasak untukmu nanti."

Lily tersenyum lalu mengangguk semangat.

"Jika aku yang memasak. Lalu tugas Lily apa?"tanya Max ikut bicara.

Martha menatap putranya itu."Tentu saja melayani suami. Tapi bukan di dapur melainkan di kasur."ucap Martha membuat Max batuk lalu mengambil gelas dan minum.

Lily mengangguk."Mama benar, kak. Kakak mau punya anak berapa? Lily siap loh hamil tiap tahun."

"Uhukk uhukkk" Max akhirnya tersedak. Air bahkan sampai masuk ke dalam hidungnya.

Lily segera memberikan tisu.

"Kakak nggak papa?"tanya Lily khawatir.

Max mengambil tisu itu lalu membersihkan hidungnya. Hari ini jika ditotal sudah berapa banyak dia terkejut.

Martha menggeleng pelan lalu menatap calon menantunya."Dengar sayang! Max mungkin ingin punya banyak anak karena dia anak tunggal. Tapi bukan karena itu kau harus hamil setiap tahun. Mama yakin pasti Max yang sudah mempengaruhimu untuk punya banyak anak. Tapi kau tidak harus menurut jika merasa keberatan."ucap Martha lembut.

Lily hanya tersenyum mendengarnya sedang Max langsung menghela napas. Dari mana datangnya tiap tahun? Jika Max bahkan tidak berpikir untuk menghamili Lily.

Bersambung

My BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang