Part 2

13K 565 12
                                    

Happy Reading!

"Arghh sebenarnya apa yang terjadi dengan diriku?"teriak Lily lalu melempar ponselnya ke lantai. Sejak tadi hingga sekarang ia hanya bisa memikirkan satu orang, yaitu Max.

Padahal ia sudah berusaha mengalihkan pikirannya dengan berkutat dihadapan laptop, menyelesaikan tugas kuliah tapi semuanya percuma. Hanya ada Max, Max dan Max yang terlintas di kepalanya.

"Aku pasti sudah gila."gumam Lily lalu berdiri kemudian melangkah keluar dari kamarnya. Mungkin segelas air bisa menjernihkan otaknya yang mulai tercemar.

Lily yang berniat menuju dapur malah terhenti saat melihat kakak keduanya sedang berdiri di depan pintu kamar. Dan itu bukan kamarnya sendiri.

"Untuk apa kak Jevin berdiri di depan pintu kamar kak Elia?"gumam Lily bingung lalu saat ia ingin memanggil, pria itu malah pergi.

Aneh sekali, batin Lily lalu melanjutkan langkahnya menuju dapur.

"Non Lily, perlu sesuatu?"tanya salah seorang pekerja yang masih bertugas membersihkan dapur.

"Aku ingin sege_ dua gelas susu hangat."ucap Lily yang berpikir akan memberikan segelas susu lainnya untuk Elia.

"Baik, non Lily."

Lily melangkah menuju sebuah kursi lalu duduk di sana menunggu. Setelah susunya selesai dibuat, Lily segera membawanya keluar dari dapur.

"Kak Elia mungkin masih sedih. Semoga segelas susu bisa membuatnya lebih baik."gumam Lily lalu berniat mengetuk pintu, namun sesuatu yang aneh terdengar dari dalam.

Lily melangkah mundur dengan wajah memerah.

"Tuann hh sayaa mohonn, jangan lagii ahh"

Detak jantung Lily meningkat dua kali lipat dari biasanya. Tangannya menggenggam erat dua gelas susu yang ia bawa. Bahkan tak perlu melihat untuk tahu apa yang sedang terjadi di dalam.

Tarikan napas Lily perlahan memberat kemudian ia bergegas menjauh dari sana dan kembali ke kamarnya.

Brakk

Lily menutup pintu dengan kasar lalu meletakkan dua gelas susu di atas meja. Bahkan kamarnya yang biasanya terasa dingin mendadak panas.

"Aku butuh udara segar."gumam Lily. Jika terus berada di kamar, mungkin ia akan gila.

Setelah mengambil dompet dan tas miliknya, Lily segera keluar dari kamar. Entah ke mana ia bisa pergi di jam yang hampir tengah malam ini namun yang jelas Lily harus menenangkan dirinya.

Lily melangkah menuju pintu utama namun entah sial atau tidak, ia bertemu papanya.

"Papa."kaget Lily lalu mengusap keringat yang membasahi wajahnya.

Revan menatap putrinya."Ini jam___"

"Sebelas."ucap Lily membuat Revan mengangguk.

"Dan putri kesayangan papa, mau ke mana di jam sebelas malam?"tanya Revan membuat Lily menggigit bibir bawahnya.

"Pah, Lily cuma mau cari udara segar di luar."ucap Lily pelan membuat Revan mengernyit.

"Udara segar?"tanya Revan memastikan.

Lily mengangguk."Lily stres pah mikirin tugas kuliah. Lily benar-benar perlu keluar sekarang. Lily janji nggak akan macam-macam kok."ucap Lily membuat Revan mengangguk.

"Baiklah. Tapi perginya bersama Max."ucap Revan membuat Lily melotot. Ia kan ingin mencari udara segar agar isi kepalanya bisa terisi angin untuk menggeser keberadaan Max saat ini. Mana mungkin ia pergi dengan orang yang mengganggu ketenangan pikirannya.

"Tapi, pah.."

"Tidak ada tapi. Papa ijinkan kamu keluar tapi bersama Max."ucap Revan tegas membuat Lily menghela napas lalu mengangguk.

Dan di sinilah sekarang Lily berada. Di bangunan belakang tempat semua orang yang bekerja di rumah besar istirahat. Karena ponselnya hancur, jadilah ia terpaksa datang langsung.

"Kamar kak Max yang mana ya?"gumam Lily. Di bangunan belakang, ia hanya tahu kamar Elia sedang yang lainnya Lily tak peduli.

Jrengg

Hahahaha

Lily mengernyit, ia sepertinya mendengar suara gitar, nyanyian dan tawa. Dengan langkah pelan, Lily melangkah menuju asal suara dan ternyata_

Trakkk

Langkah Lily terhenti saat kakinya tak sengaja menginjak botol plastik. Dan hal ini juga membuat hampir sepuluh pria yang sedang duduk memutar berbalik menatap ke arahnya. Beberapa dari mereka yang merokok bahkan langsung berhenti dan bergegas menghilangkan asap dengan kipasan baju.

Wajah Lily langsung memerah saat melihat Max berdiri. Pria itu tidak memakai baju hingga memperlihatkan otot-otot perutnya yang sempurna.

"Apa yang nona lakukan di sini?"tanya Max mendekat membuat Lily menahan napas. Ia bahkan lupa menatap wajah pria di depannya karena fokus pada hal lain. Bagaimana bisa bentuk pahatan otot di perut Max bisa seindah itu. Bahkan ada bulu-bulu yang menghiasi dada pria itu membuatnya berkali-kali lipat terlihat seksi.

"Max, bajumu!" seseorang berteriak dan melempar baju pada Max.

Lily tak sadar menggeram. Karena itu artinya ia tak bisa melihat keindahan itu lagi.

"Thanks."ujar Max lalu segera memakai bajunya.

Lily mengusap tengkuknya."Aku ingin keluar tapi papa bilang harus bersama kak Max."ucap Lily menjelaskan maksud kedatangannya.

Max mengangguk lalu mengeluarkan ponselnya dan melihat jam.

"Ini sudah hampir tengah malam, memangmya nona mau ke mana?"tanya Max.

"Entahlah. Aku hanya ingin keluar rumah."sahut Lily.

Max mengangguk."Baiklah. Lain kali nona bisa menelpon saja."

"Ponselku rusak,"ucap Lily lalu berbalik."Aku akan menunggu di depan."lanjut Lily kemudian melangkah pergi. Sedang Max buru-buru memasuki kamarnya, ia hanya mengambil dompet dan kunci mobil kemudian bergegas pergi.

Di ruang tamu, Lily masih sibuk mengatur napas dan menstabilkan degupan jantungnya yang semakin menggila.

"Aku pasti sudah gila. Bagaimana mungkin aku berpikir untuk memeluk kak Max."gumam Lily lalu meremas rambutnya. Kegilaan ini harus segera keluar dari kepalanya atau segalanya akan menjadi semakin buruk.

"Apa nona baik-baik saja?"tanya Max yang tiba-tiba saja muncul.

Lily segera mendongak lalu mengangguk. "Aku ingin membeli ponsel."ucap Lily lalu berdiri kemudian mulai melangkah namun tiba-tiba saja kakinya tersandung karpet yang membuat tubuhnya goyah.

"Arghh"Jerit Lily saat ia benar-benar tak bisa lagi menyeimbangkan tubuhnya.

Grepp

"Hah?"Lily melotot saat kini ia berada di pelukan Max. Lengan kekar pria itu bahkan melingkari pinggangmya. Dan wajah Lily kini tepat di dada pria itu.

Lily bahkan bisa merasakan dada keras pria itu di telapak tangannya. Ia bahkan bersusah payah menahan diri agar tidak meraba otot-otot yang tadi ia lihat.

"Apa nona baik-baik saja?"tanya Max lalu membantu putri majikan tuannya itu untuk berdiri dengan benar.

Lily mengangguk kemudian segera melangkah. Jangan sampai Max melihat wajahnya yang memerah.

Bersambung

Selasa, 30 Januari 2024

My BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang