BAB 4: PICCOLO LATTE

824 33 2
                                    

"Eh, maaf Kak!"

Dini langsung berdiri karena kaget. Pelayan dan suster yang tertawa jadi diam membisu.

Dini tak menghirakan rasa tersedak di tenggorokannya dan buru-buru membuat kopi.

"Berikan air putih dulu cepat! Kau ini Ibu yang bagaimana sih? Katanya menyayangi anakmu. Tapi putrimu makan tidak diberikan air di luar sana!"

Yah, Dini lupa. Dia tidak sangka saja kalau jadi keenakan ngobrol.

"Jangan lupa antarkan kopiku!"

Setelah menyerahkan dua gelas air ke Rio, Dini kembali lagi dengan keribetannya membuat kopi. Mengambil biji kopi utuh, menggiling, dimasukkan ke mesin kopi, dan menyiapkan campuran susunya juga.

Dini sangat fokus pada kegiatannya melupakan sejenak pelayan dan suster yang memperhatikannya.

"Bu Dini pandai sekali membuat kopi seperti barista."

"Mungkin karena hobi ngopi," ucap Dini sekenanya. Dia juga tidak berniat untuk menceritakan masa lalunya kenapa membuat kopi se-ribet itu padahal bu Imas sendiri menyeletuk biasanya dia memberikan Rio kopi sachset.

"Saya mau antarkan kopinya dulu." Dini tak mendebat, langsung ke belakang menghampiri Rio

"Ini kak!" seru Dini mengulurkan kopinya yang dilirik Rio sejenak.

"Apa itu?"

"Piccolo latte," barulah pria itu mengambilnya. Dini lega, untung saja dia tak menyeduh kopi sachset.

Kalau bi Imas yang melakukan, mungkin tak masalah, tapi kalau Dini, sudah terbayang olehnya kemarahan Rio.

"Mama onde-ondenya sudah habis," dan suara Anggia menyadarikan Dini yang langsung menengok piring onde-ondenya.

"Berarti Anggia sudah kenyang dong! Tadi kan Mama buatnya banyak."

"Tapi tadi makannya cepetan Om Rio sama Anggia."

Seandainya rumah itu dan uang untuk membuat onde-ondenya adalah uang Dini sendiri, maka dia ingin sekali mengetok kepala Rio yang tidak mau mengalah dengan anak kecil.

"Ya sudah, nanti mama gorengkan lagi ya. Mama masih punya kok di dapur."

Dini tidak bertanya berapa yang dimakan oleh Anggia dan berapa yang dimakan Rio karena akan membuatnya bertambah sakit hati saja nanti.

"Gorengkan sekarang! Mumpung piccolo latte-ku masih ada."

Tanpa menjawab, Dini ke dapur, buru-buru memanaskan minyak dan menggoreng lagi. Meski pelayan dan suster penasaran, melihat muka Dini ditekuk mereka tak berani bertanya.

"Bu, Pak Rio dan Anggia suka sekali makan onde-onde ya?" akhirnya setelah Dini menyelesaikan menggoreng, mengantarnya ke Rio dan Anggia, Titi memberanikan bertanya.

Dia kembali lagi ke dapur untuk menghabiskan pempeknya.

"Hm, coba nih!" Dini menyisakan beberapa untuk pelayan dan suster di dapur juga

"Wah, iya Bu. Ini enak beneran!"

Dini hanya tersenyum. Andai ada lagi, Titi sebetulnya ingin nambah.

Dini memang selalu membuat masakan enak-enak. Ini yang disukai oleh pelayan dan suster di sana.

"Bu, untuk makan malam kita mau masak apa?" Imas yang melihat jam sudah menunjukkan hampir jam lima, bertanya di saat Dini baru menghabiskan pempeknya.

"Kita sudah makan pempek. Saya rasa kita tidak perlu buat makan malam deh."

"Beneran Bu? Ada Pak Rio tapi." Imas masih agak khawatir. Tapi bukankah Rio ke sini paling hanya ingin bicara dengan Dini tentang urusan mereka? Dia juga sudah makan onde-onde dua piring kan?

Sewa Rahim MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang