06. Ada yang Baru

1.1K 76 0
                                    

"Dinda?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dinda?"

Dinda menoleh. Di pintu kamar ada sang Kakak yang bersandar pada kusen. Kedua tangan pria itu masuk ke saku celananya.

"Kenapa?" tanya Dinda seraya menoleh pada cermin, kembali pada kegiatan bersoleknya.

"Nggak kenapa-napa, cuma pengen lihatin Adek dandan."

Nggak jelas, batin Dinda. Meraih pencapit bulu mata dan memajukan sedikit tubuhnya, Dinda mulai basi-basi sementara tangannya tetap sibuk. "Dinda balik ke Jakarta ya, Bang."

"Baru juga sehari."

"Kan niatnya memang nggak lama. Dinda tuh ke Bandung cuma mau laporin temen Abang."

"Ke Bandung lagi kapan?"

"Nanti pas Dinda di kasih libur."

"Kamu sibuk ngapain sih di sana?" tanya Abyan sedikit ketus.

"Sibuk ngapain?!" Alis Dinda menukik. Tatapannya pun kini tajam melihat Abyan dari pantulan cermin. "Ya sibuk nyari uang lah. Dinda di sana tuh kerja, Abang... Dinda bisa ngehasilin uang dari nyanyi dan main iklan."

Abyan tersenyum miring. "Udah berpenghasilan ternyata. Udah nggak butuh lagi uang bulanan dari Abang." Kalimat spontan tersebut berhasil membuat Dinda panik.

"Ya-yaa tetep butuh. Lagian Abang mau ngasih nafkah ke siapa lagi kalo bukan ke Dinda? Punya istri emang?"

"Tinggal nyari."

"Gampang banget mulutnya."

Selesai mencibir, Dinda mengeluarkan catokan rambut dari laci meja rias.

"Mau dibantu, nggak?" tawar Abyan.

"Memangnya Abang nggak kerja?"

"Bisa siangan. Siapa yang mau mecat memangnya kalo Abang bolos kerja?"

"Tsk, mulai songong."

Abyan berjalan menghampiri sang Adik. Tangannya segera merebut catokan yang di pegang Dinda, mengambil alih menyatok rambut gadis itu. "Abang ke kantornya setelah Dinda berangkat."

Dinda tidak membalas lagi. Abyan juga tadi membantunya melipat baju-baju miliknya yang tersisa di lemari. Baju-baju itu di pindahkan ke dalam koper untuk nantinya Dinda bawa ke Jakarta.

Keduanya sudah dibiasakan mandiri tanpa ada campur tangan pelayan yang bertugas membereskan dan membawakan barang. Dari dulu di rumah ini memang tidak ada siapa-siapa lagi selain Papi Ariksa, ketiga anaknya, dan satu ART yang tugasnya membuatkan makanan.

Itu setelah Dinda lahir. Sebelum Dinda lahir, tentu saja di rumah ini ada Mami. Seandainya Dinda tidak egois―tidak lahir di saat Mami kritis, Mami pasti masih ada di rumah ini. Begitulah kata-kata andalan Bilal―Kakak kedua Dinda jika sudah kalah debat dengan Adiknya.

"Abang udah bilang ke Papi sama Bilal kalo Dinda lagi di Bandung. Tapi mereka baru bisa ke sini besok lusa." Abyan berujar setelah menaruh koper berukuran sedang milik Dinda di dekat sofa.

Kasih Tak SampaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang