Bab.9 : Retakan Panjang yang Tak Terlihat

644 94 33
                                    

Bab.9 || Retakan Panjang yang Tak Terlihat.

____________





"Jimin-a."

Lantang panggilan yang menyerukan namanya membuat Jimin yang tengah mengangkat piring-piring kotor untuk ia bawa menuju bak cuci piring itu menghentikan langkahnya. Jimin lantas menoleh ke arah sumber suara dimana sosok Sieun berdiri tak jauh beberapa meter darinya, lalu meletakkan kembali piring yang dibawanya sebelum mendekati si pemanggil.

"Sieun? ada apa?"

Pemuda bernama lengkap Yoon Sieun yang berusia beberapa bulan lebih muda darinya itu berdiri tanpa berani mengangkat kepalanya. Tangannya terangkat menggaruk bagian belakang lehernya dengan jemari yang bergerak gelisah.

"Uhm, begini, aku tahu uang yang kupinjam padamu bulan kemarin belum kukembalikan. Tapi, bisakah aku meminjam sedikit lagi, Jimin-a?" Sieun berujar lirih nyaris serupa bisikan.

Ah, benar. Pantas saja pemuda itu mau mendekati Jimin lebih dulu. Setahu Jimin, rekan-rekannya di restoran tidak ada yang pernah mendekati Jimin tanpa maksud tertentu. Mereka selalu abai akan presensi Jimin, bahkan cenderung menyudutkan Jimin saat terjadi kesalahan. Kemudian, saat mereka membutuhkan bantuan Jimin, barulah mereka akan mendekati Jimin lebih dulu.

Jimin bukan pemuda yang naif dan polos. Jimin sadar dan paham macam-macam karakter dari orang-orang disekitarnya. Hanya saja, menjadi sosok tertutup yang begitu mudah merasa sungkan dan tidak enak pada orang lain membuat Jimin sulit untuk menolak permintaan mereka.

"Aku tahu aku sudah berjanji untuk membayarnya bulan ini. Tapi, ibuku jatuh sakit dan uangku tidak cukup untuk melunasi biaya rumah sakit ibuku. Mereka tidak bisa memeriksa ibuku sebelum aku melunasi pembayarannya." Nada suara Sieun kembali terdengar mengiba. Pemuda itu bergerak maju untuk menggenggam satu tangan Jimin yang terbebas dari piring-piring kotornya.

Jimin terdiam tanpa membalas genggaman Sieun pada jemarinya yang kotor. Otaknya kembali merekam jejak ingatan tentang bagaimana ayahnya merebut seluruh uang tabungan miliknya. Lalu ingatan tentang bagaimana Sieun yang sebelum-sebelumnya selalu meminjam uangnya dengan cara menyedihkan menjadi satu di kepalanya.

Pemuda pemilik sabit kembar itu ingin berusaha menolak permintaan Sieun. Sebab uang yang ia pegang hanya cukup untuk biaya hidupnya serta uang yang ia sisihkan untuk membeli sepatu baru untuk Jungkook.

"Maafkan aku, Sieun, tapi aku juga-"

"Kumohon, Jimin-a, bantu aku sekali ini saja. Aku berjanji akan segera membayarnya begitu gajiku keluar," potong Sieun sembari meremat jemari Jimin. Kedua maniknya telah berbingkai kaca dengan wajah mengiba yang mampu menarik simpati orang lain.

"Kau masih punya ayah dan adikmu, bukan? Aku hanya punya ibuku sebagai satu-satunya keluarga yang tersisa. Aku tidak bisa melanjutkan hidupku jika terjadi sesuatu pada ibuku, Jimin-a. Aku hanya sebatang kara menghidupi diriku dan ibuku, sedangkan kau masih punya ayah yang bisa kau andalkan. Kumohon, bantu aku kali ini saja. Aku janji ini yang terakhir."

Jimin nyaris tertawa keras setelah mendengar kalimat Sieun. Ia melepas perlahan genggaman Sieun pada jemarinya. Kemudian, hela napas panjang terdengar bersama sebaris kalimat yang mampu melunturkan raut mengiba diwajah Sieun.

"Sieun-a, kau tahu. Kadang, manusia sering keliru menilai sesuatu. Mereka hanya menilai dari apa yang mereka lihat, bukan dari apa yang orang lain alami," ucap lirih Jimin yang mampu membungkam Sieun ditempatnya.

Memang benar, dari semua karyawan yang bekerja di restoran, hanya Jimin yang memiliki pribadi pendiam dan sangat tertutup di antara pekerja lain. Pemuda itu hanya akan bicara jika penting, itu juga jika di ajak bicara lebih dulu. Ia juga tidak pernah mengumbar kehidupan pribadinya pada pekerja lain. Tidak seperti Sieun yang seolah gemar menjual kisah hidupnya yang terdengar menyedihkan.

SEMICOLON [ Hujan&Januari Series ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang