.
."Ibu kenapa kita disini?"
Malam itu, pukul sebelas lewat duapuluh menit. Saat usia Jimin baru saja menginjak tujuh tahun bulan Januari lalu, Ibu membawa tubuh Jimin kecil dalam gendongannya. Ibu memakaikan Jimin kecil pakaian paling bagus dan paling hangat yang Jimin miliki, memakaikan sepatu pemberiannya di ulang-tahun Jimin yang ketujuh. Mengabaikan dirinya yang hanya memakai setelan rumahan tanpa alas kaki.
Kemudian, dengan kaki yang tak lagi beralaskan apapun, Ibu merajut langkahnya dengan tatap kosong melompong nyaris tak bernyawa. Bersama tubuh kecil Jimin dalam dekap hangatnya yang justru terasa membekukan malam itu.
"Binasa, Jiminie. Kita akan menjemput kebahagiaan kita."
Suara Ibu terdengar serak dan parau. Baris kalimatnya pun terdengar datar dan hambar saat Ibu mengatakannya. Namun, agaknya Ibu lupa Jimin hanyalah bocah tujuh tahun yang belum mengerti pikiran orang dewasa.
"Tapi, Bu, kita meninggalkan adik bayi sendiri bersama Ayah. Nanti adik bayi dipukuli seperti kita, Bu," ucap Jimin kecil dengan tatap lugu yang ia arahkan pada sang Ibu.
"Ayo kita pulang, Bu. Jiminie ingin menjaga adik bayi."
Ibu hanya terkekeh hambar sebagai balasan. Bisik liar angin malam di tepi pantai menerbangkan tiap-tiap helai rambutnya yang tidak lagi terawat. Ibu masih setia dengan langkah konstannya. Hingga kaki telanjangnya kini mencium gulungan ombak kecil ditepi pantai malam itu, membasahi ujung celananya yang bergerak tersapu angin.
"Sayang, anak itu bukan tanggung jawab kita. Biar ayahmu yang brengsek itu yang merawat hasil dosanya." Birai bibir pucat sang Ibu kembali terbuka perdengarkan baris kalimat yang cukup menyakitkan untuk Jimin kecil dengar.
"Sekarang, biarkan Ibu yang membuat dosa Ibu sendiri. Ibu akan membawa Jiminie untuk menjemput tenang yang selama ini kita cari. Tidak akan ada lagi pukulan dan makian dari Ayahmu. Jiminie tidak harus makan makanan basi lagi untuk menahan lapar. Ibu akan membawa Jimin mengakhiri penderitaan itu, dan menjemput kebahagiaan yang kita nanti."
Jemari kurus Ibu menyisir helai rambut Jimin dengan lambat. Tatap matanya kosong seolah raganya tak lagi bernyawa. Wajah kuyu dengan bibir pucat itu perlahan menerbitkan segaris senyum tipis saat riak air laut kini menyentuh lututnya. Kemudian ia kecup lama kening Jimin kecil sembari terpejam.
"Peluk Ibu yang erat, ya, Jiminie. Pejamkan matamu dan Ibu akan menyanyikan lullaby pengantar tidur untukmu. Lalu saat kau membuka matamu, kau akan disambut dengan bahagia yang abadi."
Janji Ibu manis sekali. Jimin nyaris terlena hingga kepalanya mengangguk begitu antusias dengan binar-binar harap yang berpendar dari sepasang manik sabitnya. Jimin kecil dengan polos mengikuti ucapan Ibunya. Manik sabitnya terpejam, jemari mungilnya memeluk erat leher sang Ibu, tubuhnya menyandar nyaman pada gendongan Ibu.
Bocah tujuh tahun itu tidak tahu bahagia apa yang Ibu maksudkan dengan mendekatkan diri mereka semakin dalam pada air laut yang seolah menarik mereka semakin jauh. Namun, Jimin selalu percaya kata-kata Ibu. Jadi, saat dingin air laut perlahan menyentuh tubuhnya yang berada dalam gendongan sang Ibu, yang Jimin kecil lakukan hanya semakin mencengkeram erat kerah pakaian yang Ibu kenakan.
Semakin dalam Ibu melangkah ke tengah laut hingga Jimin nyaris basah kuyup, semakin kuat pula pelukan jemari kecil Jimin pada ibunya. Hingga perlahan, pelukan itu terurai saat ombak ganas dilautan memisahkan Jimin dari ibunya, Jimin tidak lagi menjumpai raga sang Ibu dalam jangkau pandangnya.
Ombak-ombak ganas itu memeluk tubuh sang Ibu hingga meninggalkan Jimin seorang diri, memberontak pada riak air laut, berteriak nyaring hingga asin air laut sudah tidak terhitung sebanyak apa yang masuk kedalam paru-parunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMICOLON [ Hujan&Januari Series ]
FanficBagian dari project Hujan & Januari Series _____________ Dari banyak hal berharga yang telah di renggut dari hidupnya. Masa mudanya, kebebasannya, harga dirinya, dan ibu kandungnya. Ryu Jimin hanya ingin satu persen alasan hidupnya untuk tetap tingg...