Bab.7 || Tanggung jawab yang Semakin Membunuh.
______________
Sejak kecil, Jimin sudah hidup dengan lingkungan keluarga yang rusak. Jimin hidup di antara ayah dan ibu yang saling melempar umpatan dan makian dengan nada tinggi. Jimin hidup dengan pukulan dan kekerasan fisik dari sang ayah sejak usia belia. Jimin menyaksikan sendiri bagaimana sang ayah yang mengkhianati Ibunya hingga menghasilkan anak lain dari hubungan terlarang. Yang membuat Ibunya memilih jalan untuk binasa sebelum waktunya berpulang.
Bahkan Ibu tanpa ragu membawa serta Jimin yang saat itu masih berusia 7 tahun. Usia di mana seharusnya Jimin masih menikmati masa kanak-kanaknya dengan penuh warna. Namun, sang Ibu justru memberikan trauma terbesar dalam hidup Jimin di usia itu, saat sang ibu membawa serta tubuh Jimin kecil dalam gendongannya untuk mendekati bibir pantai, hingga perlahan-lahan tubuh mereka tersapu ombak laut di tengah malam.
Jimin ingat bagaimana dirinya sekarat nyaris tak memiliki asa untuk tetap hidup kala itu. Bagaimana Jimin yang berusaha berenang kembali ke bibir pantai saat tubuh sang Ibu telah jauh tertelan ombak ganas di lautan. Tengah malam, seorang anak kecil berusia tujuh tahun berusaha tetap hidup setelah sang Ibu mengajaknya untuk mati bersama. Beruntungnya, seorang nelayan dengan cepat menemukan Jimin sebelum anak itu benar-benar binasa tertelan ombak ganas bersama ibunya.
Jimin masih merekam jelas semua kenangan itu dalam ingatannya. Sampai benar-benar mati, Jimin tidak akan pernah melupakan kenangan paling mengerikan dalam hidupnya itu.
Ting!
Bunyi notifikasi pesan masuk secara beruntun dari ponsel bekas pakai yang telah retak layarnya itu membuat Jimin kembali pada dunia yang sebenarnya. Pemuda itu merogoh ponsel di saku celananya, lalu meraih ponselnya dan membuka pesan masuk di ponselnya.
Bibi Pemilik Sewa.
'Jimin-ssi, bulan ini kau belum membayar sewa rumah. Bulan kemarin juga kau sudah menunda biaya sewanya.Hela napas lelah terdengar setelah Jimin membaca pesan masuk dari pemilik rumah yang di sewanya. Rumah yang ia dan keluarganya tempati hanya bangunan bekas pakai yang ia sewa saat rumah lama mereka dijadikan jaminan hutang milik ayahnya hingga berakhir disita.
Ada jeda yang bertahan setelah Jimin membaca baris pesan yang dikirimkan oleh pemilik sewa rumahnya. Hingga kemudian, arah pandang Jimin bergulir untuk kembali menatap layar ponselnya yang retak, lalu membaca pesan-pesan masuk yang belum sempat ia baca sejak kemarin.
Rumah Sakit Hangguk :
Jimin-ssi, ini total biaya cuci darah Jungkook untuk minggu ini selama 3 kali sesi. Harap untuk segera mengurus administrasi.Penagih Hutang :
Hei, anak Ryu Jaehwan. Bulan ini kau belum membayar hutang ayahmu. Bunganya semakin membengkak.Wali kelas Jungkook :
Jimin-ssi, aku ingin menanyakan pembayaran biaya SPP Jungkook. Sebentar lagi ujian semester, Jungkook tidak bisa ikut ujian sebelum melunasi SPP nya.Paman Seo :
Tagihan listrik dan airmu sudah menumpuk Jimin. Ku harap kau segera membayarnya.
Layar ponsel retak milik Jimin perlahan meredup sebelum benar-benar mati saat Jimin menekan tombol power. Pemuda itu kembali mengambil napas panjang setelah membaca pesan-pesan tersebut.Isi kepala Jimin berantakan, begitu penuh seperti kaset rusak. Jimin hanya pemuda duapuluh tahun yang berusaha mengais secuil bahagia dari semesta, tetapi mengapa tanggung jawabnya jauh lebih berat dari orang yang lebih dewasa? Jimin tahu dirinya dituntut untuk menggantikan peran sang ayah sebagai anak pertama, juga sebagai seorang kakak. Tetapi, Jimin juga masih seorang anak yang membutuhkan peran orang dewasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMICOLON [ Hujan&Januari Series ]
Fiksi PenggemarBagian dari project Hujan & Januari Series _____________ Dari banyak hal berharga yang telah di renggut dari hidupnya. Masa mudanya, kebebasannya, harga dirinya, dan ibu kandungnya. Ryu Jimin hanya ingin satu persen alasan hidupnya untuk tetap tingg...