_____________Semesta selalu punya cara untuk menjatuhkan asa-asa yang berusaha di rajut kembali setelah berulang kali di patahkan, di hancurkan hingga keping terkecil yang tidak mampu utuh kembali. Seolah permainan yang semesta gariskan pada masing-masing perajut asa hanyalah lelucon untuk mengikis kewarasan.
Namun, kendati telah banyak hal yang telah di renggut dari hidupnya oleh semesta, juga untuk kali tak terhitung semesta menjatuhkannya saat berusaha bangkit dengan luka menganga, Jimin tidak pernah sekalipun berpikir untuk menyerah di usia muda.
Ryu Jimin, pemuda duapuluh tahun itu telah melewati banyak hal-hal pahit yang setiap harinya kerap mengguncang kewarasannya. Meski tidak ada lagi yang berharga dalam hidupnya sekalipun harga dirinya, Jimin memilih untuk tetap waras demi satu persen alasan ia masih bernapas hingga saat ini.
"Jungkook-a, aku sudah membuatkan nasi goreng kimchi untukmu dan ayah."
Jimin mengetuk pelan pintu kamar sang adik. Waktu masih menunjukkan pukul lima pagi, matahari diluar sana enggan nampak sebab hujan lebih dulu datang membawa kabut kelabu. Namun, Jimin sudah selesai menyajikan menu sarapan untuk adik dan ayahnya, sebelum ia tinggal untuk bekerja.
"Aku berangkat kerja dulu, ya!"
"Jangan lupakan obatmu!"
"Bawalah payung, di luar sedang hujan."
Desah napas kasar Jimin perdengarkan setelah dirinya tak mendapat sambutan apa-apa dari adiknya. Sama seperti pagi-pagi sebelumnya.
Begitu rutinitas seorang Ryu Jimin. Pagi-pagi sekali ia akan menjadi yang paling pertama bangun untuk menyiapkan sarapan. Dan setiap harinya, tidak ada yang menyambut Jimin bahkan meski Jimin telah mengetuk satu per satu pintu kamar ayah dan adiknya.
"Baiklah, aku berangkat dulu. Usahakan kau ke sekolah sebelum ayah bangun. Dan jangan lupakan obatmu, ya." Jimin sematkan segaris senyum yang menenggelamkan manik sabitnya, kendati tak ada satupun yang menangkap senyum tersebut.
Sekon berikutnya, Jimin bergegas menuju tempat kerja pertamanya. Pemuda itu membuka pintu rumahnya, untuk kemudian di sambut rinai hujan yang sejak semalam tak berhenti menjatuhkan entitasnya.
Arah tatapnya beralih pada satu buah payung yang tergantung di sisi rak sepatu. Hanya ada satu payung. Dan di setiap musim-musim penghujan, Jimin akan selalu membiarkan adiknya untuk memakai payung tersebut. Meski setelahnya, Jimin harus bekerja dengan menembus rinai hujan yang turun.
Mendesah pelan sejenak, Jimin rapatkan jaket lusuh yang membalut tubuh kurusnya. Hingga setelahnya, langkah kakinya bergerak menembus hujan yang turun perlahan. Membiarkan tubuhnya perlahan basah oleh hujan.
•••••••••••
Derit pintu kayu yang terbuka perlahan membelah sunyi yang mendominasi rumah kecil tersebut. Hujan masih betah menjatuhkan rintik-rintik kecil. Mendung di atas sana juga belum sepenuhnya menghilang.
Ryu Jungkook, remaja tigabelas tahun yang baru saja memasuki tahun kedua sekolah menengah pertama. Kendati usianya masih terlampau belia, bocah itu memiliki sifat keras dan lidah tajam yang mampu membuat orang lain merasa terintimidasi.
Dengan pakaian seragam yang sudah terpasang dengan rapi, juga tas sekolah yang tersampir di satu bahunya, Jungkook mengamati sekeliling rumahnya. Dan mendapati bekas-bekas kekacauan sang ayah tadi malam telah bersih dengan barang-barang yang tertata kembali di tempatnya.
Juga dua porsi nasi goreng kimchi dengan segelas susu dan kopi di masing-masing sisinya, yang masih mengepulkan asap-asap tipis yang menandakan makanan tersebut belum lama tersaji.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMICOLON [ Hujan&Januari Series ]
Fiksi PenggemarBagian dari project Hujan & Januari Series _____________ Dari banyak hal berharga yang telah di renggut dari hidupnya. Masa mudanya, kebebasannya, harga dirinya, dan ibu kandungnya. Ryu Jimin hanya ingin satu persen alasan hidupnya untuk tetap tingg...