Bab.17 : Jiwa yang tersayat-sayat nyaris sekarat.

540 76 42
                                    

_____________

Sekotak anggur beku yang Seokjin suguhkan tak terjamah sedikitpun oleh Jungkook. Padahal, anggur  merupakan buah yang paling Jungkook sukai sejauh Seokjin mengenal Jungkook. Namun, kali ini buah tersebut dibiarkan menyusut hingga tak lagi terlihat segar. Selaras dengan wajah murung Jungkook yang terlihat kusut dan layu sejak Seokjin memintanya bertemu.

"Apalagi yang membuatmu semuram ini, bocah? Wajahmu itu jauh lebih menyeramkan dari saat aku menjumpaimu pertama kali," ucap Seokjin memecah sunyi.

Sekon demi sekon berlalu, Seokjin tak juga mendapati balasan dari bocah yang kerap menjawab dengan kalimat sengak dan menusuk tersebut.

Diam cukup lama, Jungkook pun mulai membuka birai bibirnya, "Aku ... merasa tidak pantas untuk kakakku."

"Ada apa dengan kakakmu?" Alis Seokjin tampak bertaut heran, sepenuhnya tak memahami arah ucapan Jungkook.

"Kakakku ... Jimin sudah dipaksa dewasa sedari usia yang sangat-sangat belia. Usia tujuh tahun dia mendapati ayahnya memiliki anak lain dari wanita simpanannya. Di usia itu juga, Jimin di bawa oleh ibunya untuk mengakhiri hidup ditengah laut. Tapi, dia memilih untuk tetap hidup demi memastikan jika dirinya telah mengganti popok untukku yang masih bayi saat itu."

"Paman, apa kau pernah membayangkan di usia tujuh tahun kau terombang-ambing ditengah laut, mati-matian untuk tetap hidup saat ibumu mengajakmu untuk mati?"

Parau kalimat Jungkook terdengar pelan hingga kian melirih saat sesak yang nyata kembali datang menginvasi ruang pernapasannya. Bocah itu berusaha mengatur napasnya sejenak, sebab tiap kali ia membahas tentang Jimin, akan ada sesak yang singgah tanpa di undang yang membuatnya kepayahan mengais udara.

Jungkook berdehem sejenak mengurai serak di kerongkongannya sebelum melanjutkan, "Jimin ... dia jauh lebih dewasa daripada aku di usia tujuh tahun. Dia menghidupiku seorang diri saat ayah kami justru sibuk berhutang sana-sini dan menyewa banyak jalang. Dia merelakan impiannya, masa kanak-kanak hingga masa mudanya untuk menghidupiku juga melunasi hutang-hutang ayah kami. Sampai sekarang, dia selalu mengutamakan aku alih-alih mengurusi dirinya sendiri. Semuanya, bahkan harga diri dan tubuhnya rela dia rusak demi diriku."

Satu tetes likuid bening tampak mengalir pelan-pelan dari sudut mata Jungkook. Kabut dimatanya sempurna tumpah tanpa kekang. Bocah itu membiarkan Seokjin melihat sisi menyedihkan dalam dirinya yang tidak pernah ia tunjukkan pada siapapun selain Jimin.

Kemudian di tempatnya, Seokjin masih tak bergeming dengan telinga yang terpasang sempurna merekam tiap-tiap kata yang Jungkook lontarkan. Entah bagaimana, namun pria tigapuluh tahun itu juga ikut merasakan sesak yang Jungkook rasakan. Sebelumnya, Seokjin tidak tahu jika di belahan bumi yang belum ia jamah, ada seorang pemuda yang masih cukup kokoh bertopang diri kala badai datang menggerogoti kewarasannya bertubi-tubi.

"Karena itu, aku memintamu untuk membantuku. Bantu aku mengobati kakakku. Dia sakit, nyaris sekarat tanpa dia sadari." Pinta tersebut Jungkook gaungkan dengan putus asa, namun dalam sebaris pinta itu, ada asa yang berusaha Jungkook bangun kembali.

"Jika suatu saat nanti aku tidak bisa lagi mendampingi kakakku hingga dia sembuh. Tolong gantikan aku. Anggap ini sebagai bayaran atas kerjasama kita. Sebab, aku tidak tahu sampai mana aku bisa bertahan atau kapan aku akan direbut dari hidup kakakku."

Manik kelam Seokjin tampak berkilah tajam. Pria itu seolah tak senang akan pinta yang baru saja Jungkook gaungkan. "Apa maksudmu, bocah?! Kau akan hidup lebih lama. Ingat, kau masih tiga belas, tahun depan empat belas, terus begitu sampai usiamu duapuluh, tigapuluh, atau bahkan sampai kakek keronta yang tak punya gigi."

"Aku akan membantumu. Kita sembuhkan Jimin bersama-sama. Dan kau juga harus yakin untuk sembuh. Kalian berdua akan mendapat ganjaran berupa bahagia tanpa cela atas semua kesabaran kalian."

SEMICOLON [ Hujan&Januari Series ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang