Bab.2 : Segenggam Asa Yang Tak Lagi Tergenggam.________________
Jimin suka hujan dan apapun yang berhubungan dengan hujan. Terutama aroma petrikor yang menguar setelah hujan, yang mampu membuat Jimin kembali mendapatkan tenangnya. Jimin suka bagaimana hujan yang mampu menyamarkan dukanya.
Di musim-musim penghujan seperti ini, Jimin tidak akan berlari untuk mencari tempat berteduh seperti orang lain. Pemuda itu justru membiarkan dirinya menyatu bersama rinai hujan yang menjatuhkan entitasnya. Seolah dengan begitu, tubuh dan pikirannya ikut tersapu oleh debit air hujan yang membasahi tubuhnya.
"Ryu Jimin! Nyonya Song tidak menggajimu untuk melamun. Cepet selesaikan pekerjaanmu!"
Lamunan Jimin buyar saat tegas suara wanita berusia pertengahan empat puluh itu menyentak Jimin dari hal-hal yang melalang buana dalam pikirannya.
Tentang ucapan adiknya siang tadi yang cukup meninggalkan goresan panjang di dadanya. Bahkan meski Jimin sudah sering mendengar kalimat tajam dan menyakitkan dari sang adik, nyatanya Jimin tetap terluka setiap kali Jungkook menatapnya penuh kebencian.
Jimin menggeleng pelan, berusaha mengenyahkan pikiran yang membuatnya tak fokus dalam bekerja.
"Maafkan aku, Bibi."
Jimin membungkuk dalam pada sosok wanita yang menghampirinya. Pemuda itu masih mengenakan sarung tangan karet dengan busa sabun cucian yang memenuhi tangannya yang terbungkus sarung tangan karet.
"Selesaikan pekerjaanmu. Dan, setelah itu kau harus menggantikan pekerjaan Sieun. Anak itu meminta izin pulang lebih dulu."
Wanita itu bernama lengkap Jang Soyeon. Yang merupakan kepala koki di restoran cepat saji tempat Jimin bekerja. Ia lantas mengarahkan telunjuknya pada tumpukan sampah-sampah yang belum di sortir seluruhnya.
Jimin ikut mengarahkan tatapannya pada tumpukan sampah basah yang merupakan pekerjaan dari rekannya tersebut.
"Tapi Bibi, jam kerjaku hanya sampai jam enam. Dan ini bahkan sudah lewat setengah jam. Jika aku mengerjakan bagian milik Sieun, aku akan pulang terlambat. Bukankah kemarin Bibi melarangku saat aku meminta izin untuk pulang lebih dulu?" Jimin bersuara dengan ragu. Pemuda itu melirik jam yang terpampang di dinding bagian luar dapur.
"Apa kau ingin berkata jika aku berlaku tidak adil padamu?" Wanita itu bertanya skeptis, lengkap dengan tatapan tajam serta raut wajahnya tak bersahabat.
Menggeleng pelan, Jimin berusaha menyanggah pikiran sang kepala koki tersebut. Namun baris kalimat yang hendak ia perdengarkan kalah cepat oleh tegas suara wanita tersebut.
"Sudahlah Ryu Jimin, kau ini harus bersyukur Nyonya Song mau memperkerjakanmu. Jika kau terlalu banyak bertingkah, aku tidak segan untuk mengadukannya pada Nyonya Song," ucap Soyeon dengan kalimat yang ia pertegas di akhir.
"Besok pagi semua sampah itu sudah harus di sortir dan di buang. Aku tidak ingin mendengar alasan apapun."
Sekon berikutnya, wanita dengan rambut ikal terikat itu berlalu begitu saja. Meninggalkan Jimin dan setumpuk pekerjaan yang harus di kerjakan seorang diri.
Punggung wanita itu kian menjauh setelah menutup daun pintu yang memisahkan bagian dapur utama dan tempat pencucian. Yang hanya menyisakan Jimin seorang diri saat rekan kerjanya yang lain telah pulang lebih dulu.
Jimin lantas menatap tumpukan cucian piring miliknya yang masih tersisa begitu banyak, lalu beralih pada beberapa kantung sampah yang di letakkan dengan asal tanpa di sortir.
Hela napas kasar Jimin keluarkan setelahnya. Memang seperti itu perlakuan yang Jimin dapatkan di tempat kerjanya yang satu ini. Meski dirinya masih terhitung baru, namun gajinya yang ia dapatkan jauh lebih besar dari gajinya sebagai barista.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMICOLON [ Hujan&Januari Series ]
FanfictionBagian dari project Hujan & Januari Series _____________ Dari banyak hal berharga yang telah di renggut dari hidupnya. Masa mudanya, kebebasannya, harga dirinya, dan ibu kandungnya. Ryu Jimin hanya ingin satu persen alasan hidupnya untuk tetap tingg...