k e d u a ♡ p r o g r a m m e r

623 58 7
                                    

Di koridor kelas yang nampak sedikit ramai, terlihat seorang siswi menghentikan langkahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di koridor kelas yang nampak sedikit ramai, terlihat seorang siswi menghentikan langkahnya. Dia nampak terengah-engah. Beberapa kali menetralkan deru napasnya.

Huft!

Dia menghembuskan napas kasar. Kemudian menoleh ke belakangnya. Nampak beberapa orang menatapnya. Mungkin karena langkahnya yang terburu-buru tadi.

“Semoga nggak ketahuan,” gumamnya.

Puk!

Seseorang menepuk bahunya. “Darimana aja, Syel?”

Asyela Dinatra. Dia melihat teman sekelasnya yang menepuk bahunya. Menatapnya dengan pandangan bertanya.

“Aku mau cerita, tapi nanti.”

Gadis itu menarik temannya untuk memasuki sebuah kelas, karena bel istirahat berakhir telah berbunyi nyaring. Dan jam pelajaran selanjutnya akan segera dimulai.

“Kenapa sih? Kok rambutnya berantakan gitu, terus keringatan juga. Abis lari maraton kamu?”

****

Laksana
Bagai cinta yang mebara
Sampai lupa cara untuk tidur
Kesadaranku ingin terus mengingatmu

Tertanda,
— AD —

Begitulah rangakaian kata yang tertulis pada halaman terakhir buku bersampul biru yang dia temui.

“Laksana?” gumamnya.

“Namaku atau hanya sekadar diksi?”

Laki-laki pemilik identitas Laksana Bagaskara itu nampak sedang menganalisis diksi demi diksi yang tertulis.

Pikirannya bercabang tentang gadis yang mungkin menguping pembicaraannya dengan sang guru dan temannya di Lab, tadi siang.

Rasa penasarannya membuncah saat berkali-kali menyebut nama awalnya yang menjadi judul dari sebuah puisi karya seseorang berinisial 'AD'.

“Asyela Dinatra.”

Satu identitas seorang gadis terus dia gumamkan mengiringi jemarinya yang bergerak lincah di atas keyboard.

Kamar bernuansa hitam putih dengan lampu yang sengaja diredupkan menciptakan suasana tenang menurut sang pemilik ruangan.

Deringan benda pipih di samping keyboard itu mengalihkan perhatiannya.

“Malam, Pak. Ada apa?”

“Besok temui saya di meeting room pada saat jam pertama.”

“Tapi, Pak—”

“Tidak ada bantahan kali ini. Kita harus segera membahasnya. Kamu sengaja menghindar, kan, tadi?”

Laksana nampak memijat pelipisnya dengan mata terpejam. Dia memang terlihat menghindari sang guru pada saat di sekolah setelah pemberitahuan terkait perlombaan bulan depan.

“Baik, saya akan datang.”

Pada saat yang sama di tempat yang berbeda, seorang gadis bersama temannya terlihat serius membicarakan sesuatu.

“Terus terus gimana?”

“Kamu mah, terus terus terus.”

“Ya, terus gimana? Kamu nggak ketahuan, kan?”

“Aku nggak tau. Begitu aku denger orang di dalam mau keluar, aku langsung lari.”

Gadis itu bercerita dengan sekelebat ingatannya terkait kejadian yang dialami.

“Lagian, nekat amat buat ngintelin si kulkas.”

“Kan, aku penasaran. Eh, diluar dugaan.”

“Tapi, keren banget! Masih sekolah loh dia, udah jadi programmer aja. Kok bisa, ya?”

“Kalau menurutku aneh, sih. Dia programmer tuh, kenapa nggak pernah kelihatan untuk ikut lomba gitu? Secara, kan menjadi programmer di perusahaan pasti skill nya nggak main-main.”

Gadis itu terlihat memikirkan sesuatu. Seperti ada kejanggalan dari seseorang itu.

“Iya juga, ya? Atau mungkin dia nggak mau dikenal banyak orang kali?”

“Tapi, class meeting kemarin dia ikut. Kan, pasti udah tau kalau acara begitu pasti jadi most wanted dadakan apalagi dia good looking.”

“Dan bikin seorang Asyela tertarik sama cowok di sekolah ini untuk pertama kalinya setelah beberapa bulan lagi menjadi alumni, haha.”

Asyela mendengus sebal. Temannya satu ini sudah memaksa untuk bercerita. Sampai menginap di rumahnya. Membuat niatnya untuk maraton film tertunda. Tidak bisakah menunggu besok saja ketika bertemu di sekolah?

“Eh, tapi kamu keren sih. Udah ngintelin segitunya, sampai dapat informasi yang bener-bener mengejutkan dan sangat akurat,” ungkap Tari—teman sekaligus sahabat Asyela.

Sang empu menepuk-nepuk dadanya bangga. “Asyela gitu, loh! Betapa indahnya dunia per-stalker-an ini.”

“Tapi, yang kamu stalking itu seorang programmer. Dia tau nggak, ya? Kalau kamu stalking.”

Tari merasa temannya itu sangat berambisi untuk mencari tahu tentang seseorang jika sudah menarik perhatiannya. Salah siapa? Salah dia yang menarik perhatian seorang gadis dengan ambisi yang besar.

Seketika Asyela membulatkan matanya dan mendaratkan telapak tangannya paha Tari di depannya.

“Woi! Iya juga. Kok baru kepikiran kesitu?!”

Tari meringis pelan saat geplakan spontan dari temannya itu. Bisa tidak kalau sedang mereview orang lain, tangannya tidak tampol menampol?

“Aduh! Kalau ketahuan gimana dong?” panik Asyela.

Tari terkekeh. “Ketika stalker punya crush seorang programmer!”

“MAMA AKU MAU NANGIS!!!” Asyela membenamkan wajahnya pada bantal di pangkuannya.

“MAMA AKU MAU NANGIS!!!” Asyela membenamkan wajahnya pada bantal di pangkuannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
STALKER VS PROGRAMMER [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang