26. Khawatir

1.6K 116 3
                                    


















Satu minggu berlalu sejak terakhir kali Nadine mengingat bagaimana tangis sang putra pecah untuk pertama kali setelah Jendra menangis terakhir kali saat menanyakan alasan mengapa dirinya tak di perbolehkan bertemu dengan ayah serta kakaknya, Matthew, bahkan tangisan Jendra saat itu terdengar lebih tenang di banding kemarin. Nadine menjadi semakin khawatir saat Jendra yang memang sudah terbilang pendiam semakin jarang bicara. Namun Jendra tetap makan dan meminum obatnya secara teratur.

Bahkan bukan hanya Nadine yang merasa keadaan Jendra semakin diam, Nathan yang notabene satu sekolah juga satu lingkungan pertemanan dengan remaja itu juga merasa Jendra seakan tak memiliki semangat bahkan untuk protes sekalipun. Contohnya, saat Nathan mulai mengomel, Jendra hanya diam mendengarkan, saat Nathan bergelayut manja pada lengannya Jendra tak menepis seperti apa yang biasa ia lakukan. Jendra terlihat sedang berusaha keras meredam segala emosinya dan Nathan dan Nadine tahu jelas akan hal tersebut.

"Lo udah minum obat Jen?" Tanya Nathan saat keduanya berada di sebuah kafe untuk mengerjakan tugas. Haikal dan Rafa kali itu tak turut hadir karena memang tugas di bagi kelompok masing-masing berjumlah dua orang saja.

"Udah," Jawab Jendra dengan mata yang masih menelisik lembar demi lembar kertas di hadapannya.

"Jen, lo gak apa-apa?" Tanya Nathan membuat yang di tanya mendongak.

Tatapan mata Jendra berbeda, mata merah dan kantung mata yang membesar memberikan Nathan sinyal jika sahabatnya itu sedang dalam kondisi yang buruk.

Di bawah meja Nathan memainkan kuku jarinya, haruskah ia menuntaskan rasa penasaran dan khawatirnya dengan bertanya lebih lanjut, atau tidak.

"Gak mungkin gue bilang gue baik-baik aja," Jendra kembali fokus pada tugasnya, "tapi lo gak perlu khawatir gue udah puas sama fakta yang udah susah payah gue cari selama ini."

Mungkin itu adalah kalimat terpanjang yang terlontar dari bibir Jendra selama satu minggu terakhir. Bibir Nathan terkatup, ia rasanya ingin meraih Jendra dan memeluknya namun sepertinya hal tersebut tak akan Jendra sukai. Jendra bukan orang yang suka di kasihani.


















Nadine tengah terduduk di meja kerjanya, dirinya menatap layar komputer dengan fokus, sebenarnya pikiran perempuan itu masihlah di penuhi rasa bersalah atas apa yang di alami sang putra, namun dirinya tak bisa mengatakan hal lain yang akan menambah kepedihan remaja itu. Diam-diam dirinyapun seringkali menangis saat mengingat hal apa yang menimpa putranya.

Hingga sebuah deringan ponsel dari sosok yang tengah Nadine pikirkan terlihat, Nadine segera menjawabnya walaupun sedikit merasa heran karena Jendra jarang sekali menelponnya apalagi saat jam kerja.

"Halo, Sayang, ada--" Nadine menjawabnya.

"Halo, Buk, ini betul ibunya pemilik ponsel?"

Nadine mengerutkan dahinya, jelas saja ia heran itu bukanlah suara sang putra, "iya, saya ibunya, kamu siapa, yah, kok bisa pake ponsel anak saya?" Tanya Nadine panjang lebar karena khawatir jika ponsel Jendra hilang atau terjadi hal buruk lainnya.

"Saya perawat dari rumah sakit, anak ibu di temukan pingsan di taman kota dan ada orang yang bawa ke sini. Sekarang beliau belum sadar, jadi bisa ibu datang ke rumah sakit permata segera?"

Nadine mencelos, apa katanya, Jendra di rumah sakit? Untuk sesaat telinganya seolah berdengung, sebelum akhirnya dengan panik Nadine membenahi barang-barangnya dan bergegas pergi meninggalkan pekerjaannya. Nadine tak lagi peduli dengan konsekuensi yang mungkin dirinya terima.

























Tbc ...

Hai apakabar? Masihkah nunggu cerita ini??




Alarm || Lee Jeno, nct dream √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang