~Happy Reading~
Tongkat rotan menyabet pahanya untuk yang kelima kali. Ia memandang benci pada kertas lirik dan nada di depan wajahnya. "Sejak kemarin kau masih saja stuck di lirik ini."
Guratan SOS terlihat jelas di muka, tetapi Guru musiknya sekali tak berkuti ketika wanita ini datang mengambil alih dengan rotan di tangan. Gurunya hanya bisa berdiri menunduk di pojok.
"Oke, coba lagi." Wanita ini memandang tajam ke arah putranya yang baru saja menginjak usia sepuluh tahun.
Kejadian ini selalu berulang di sepanjang hidupnya. Ketakutan terus menghantuinya. Tangannya gemetar menyentuh kertas lirik itu. Baru dua kata yang ia nyanyikan, suaranya kembali crack.
Rotan itu dilayangkan ke punggungnya, saking kuatnya sampai rotan tersebut terbelah menjadi dua. Suaranya kian melengking di kala rambut panjangnya yang ditarik kencang. Wanita ini tak peduli akan putranya jatuh terduduk akibat jambakkannya.
"IBU, MAAFKAN HARUTO! MAAF-AKHHH!!" Tubuhnya perlahan terseret mengikuti ke mana sang Ibu pergi.
"Nyonya!"
"Jangan ikut campur atau kau akan kehilangan pekerjaan."
Dia tentu merasa bersalah dan gagal menjadi seorang guru. Tidak seharusnya hanya melihat dan berdiri di tempat. Namun, mau bagaimana lagi, dia masih baru satu bulan di sini.
Haruto berusaha menggapai apapun yang dapat dijadikan pegangan. Meski seluruh jemarinya telah mencengkeram erat pada sebuah kaki meja, yang ada malah meja tersebut ikut terseret bersamanya.
Tubuhnya kembali berakhir di gudang. Kertas lirik dan nada menampar wajahnya, lalu melemparnya. "Dasar buta nada."
BLAM!
Pintu terkunci rapat dari luar. Tak ada penerangan, hanya mengandalkan sinar bulan dan matahari dari jendela kecil. Barang-barang lama membuat tempat sempit ini semakin sesak.
Haruto mengusap air matanya, menyisakan isak tangisnya. Menenangkan diri sambil memandang ke arah lembar-lembar kertas yang tadinya ditamparkan pada wajahnya.
Haruto menjerit kuat sembari merobeknya hingga menjadi serpihan-serpihan kecil. "Ketika kau marah, robeklah, rematlah dan coretlah kertas." Lembaran kertas itu diremat sampai tak berbentuk lagi. "Jangan lampiaskan pada dirimu, Haruto. Kau berharga."
Ucapan dari Pamannya selalu berputar setiap kali ia marah. Pernah kepergok oleh sang Paman saat ia membenturkan kepalanya sendiri ke dinding dan berteriak membenci Tuhan. Kemudian, ucapan tersebut muncul sebagai wejangannya dan akan selalu Haruto bawa seumur hidupnya.
Haruto membanting tubuhnya pada dinding, dia bersandar sambil menunggu hatinya benar-benar reda. Haruto menoleh pada salah satu nakas tua, lalu mendorongnya. Tampak sebuah tulisan-tulisan tangan yang digurat menggunakan krayon. Haruto mengeluarkan sekotak krayon yang sempat dia sembunyikan di gudang ini. Tangan mungilnya menggoreskan warna merah yang tampak kontras dengan lapuknya dinding.
Ujung krayon yang tumpul itu dijauhkan dari dinding. Haruto menatap bangga pada baris-baris lirik lagu yang telah ia buat selama tiga hari. Pikirannya mulai membuat melodi, irama dan instrumen, otomatis anggota tubuhnya bergerak mencari beberapa benda yang dapat menghasilkan suara yang sesuai.
Bukan sesuatu yang baru, ia selalu melakukan kegiatan ini setiap kali dikurung. Merajut mimpi di dalam sempitnya gudang, menggunakan semua pikiran kreatifnya untuk menciptakan suatu lagu yang cukup sulit ia sampaikan.
Ia membaca lirik-lirik yang ditulis dengan krayon merah tadi menggunakan teknik vokal berkata cepat.
Menjadi Rapper dan tergabung dalam suatu grup musik adalah impiannya. Bukan dipaksa menjadi vokalis solo.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Obsession {HaruKyu}✓
Fanfiction[END] Seorang idol yang meminta bantuan Sasaeng, memangnya ada? Tanyakan saja kepada salah satu idol yang penuh haters dalam hidupnya, Watanabe Haruto. Bila saja tak mendesak, Haruto takkan pernah sudi meminta bantuan Sasaeng itu, walau ia akui par...