Aqilla Syarifah & Nadhif Ikhsan Hanif. Dua nama yang tertera di depan ponpes Al-Hidayah. Beberapa petugas parkir dan keamanan lalu lalang mengatur kendaraan para tamu undangan.
Jan berulangkali berusaha menetralkan wajahnya. Ia tidak ingin terlihat sedih di depan gadis pujaan. Ia ingin bahagia melihat cintanya bahagia. Di sampingnya, duduk Septian, sepupunya. Di belakang ada Hidayat dan Erin, kakaknya. Sementara anak mereka tidak ikut hadir, dititipkan pada Hafidzah, Ibu dari Erin dan Januar.
Mereka turun dari BMW setelah berhasil parkir dengan baik. Merapihkan pakaian yang dikenakan sejenak sebelum melangkah menuju aula resepsi. Jan berusaha tersenyum, tipis sekali. Terkesan dipaksakan.
Rupanya, pernikahan mereka dipisah antara tamu undangan ikhwan dan akhwat. Alhasil, Erin masuk sendiri ke balik kain putih yang tertulis akhwat di bagian utara. Bahkan, sudah ada penjaganya para santriwati yang ditugaskan agar jangan sampai ada laki-laki yang masuk.
Di sebelah timur, Jan, Septi dan Hidayat masuk ke balik kain hitam. Setelah menyapa singkat dua orang santri yang ditugaskan menjaga agar tidak ada akhwat yang masuk ke dalam.
Jan terkesima dengan konsep pernikahan mereka, tidak begitu berbeda dengan pernikahan kakaknya. Hanya saja kakaknya menikah di Hotel Keluarga yang memakai dua ballroom hotel. Supaya terpisah antara tamu laki-laki dan perempuan. Memang biaya terbilang mahal, tetapi karena hotel keluarga maka tidak terlalu membebani keuangan keluarga Adam. Januar pun, nanti akan menikah di hotel juga.
Saat menyalami Nadhif, manik cokelat Jan menyiratkan rasa sedih, kecewa, kesal dan marah. Nadhif tidak tahu. Ia masih setia tersenyum menyalami para tamu.
"Barakallah, semoga sakinah mawadah warahmah ya..." Ucap Hidayat kepada Nadhif.
"Iya Pak Ustadz. Alhamdulillah, makasih sudah datang"
Mereka berfoto bersama sebentar sebelum akhirnya turun dari panggung pernikahan. Hidayat mengajak dua adiknya menyantap hidangan. Septi tampak sudah siap mengambil semua yang tersedia dengan mata berbinar. Jan, tidak berselera makan. Dia hanya mengambil seadanya saja dan tidak menyantapnya. Hanya memainkan garpu dan sendok di atas piring.
"Ikhlas ya, Jan" Ucap Hidayat yang sudah tahu dari istrinya.
Jan tersenyum tipis.
"Ingat ada Allah! Dan Allah mentakdirkan Kamu menikahi Feb"
Januar tersenyum, kali ini tanpa paksaan. Sudut bibirnya melengkung sempurna 90°. Ingat akan tawa Feb yang sangat manis menurutnya.
Hidayat tersenyum, lantas mengajak Jan segera menghabiskan makanannya sebelum mereka meninggalkan tempat itu.
***
"Pah, apa akad tidak bisa disegerakan?" Tanya Jan pada Yasir di ruang baca sang Ayah saat pukul delapan malam.
"Bisa, kalau suratnya sudah selesai diurus semua. Emang Kamu udah ga tahan apa gimana sih? Tinggal sebulan lagi kok."
"E-eh. Ga gitu kok Pah. Astaghfirullah"
"Kalau gitu tahan aja. Jangan aneh-aneh. Puasa sana!"
"Iya Pah." Raut Jan tampak murung.
"Perbanyak dzikir dan baca qur'an."
"Iya Pah"
"Senyum dong!"
Januar pun tersenyum lebar.
"Yasudah Pah, Jan mau ke kamar dulu baca Qur'an. Besok Jan puasa deh. Kebetulan besok dinas ke Bogor liat kebun teh."
"Oh iya, sekalian aja berangkat bareng abang dan kakakmu. Katanya besok mereka ke Bogor juga karena abang mau isi ceramah di sana."
"Siap Pah!"
Yasir tersenyum menatap kepergian Januar.
***
Hari berlalu begitu cepat. Jan sibuk bekerja dan puasa di hari dia merindukan Feb. Bisa dibilang, hampir setiap hari Jan berpuasa walau lelah tetapi itu satu-satunya penjaga agar pikiran tentang Feb bisa sirna.
Sementara Feb, sibuk bekerja tanpa perduli apapun. Yang diketahuinya, semua untuk pernikahan telah di siapkan oleh Keluarga Adam. Hanya tiga kali, Hafidzah datang ke rumah Feb dengan menaiki kia picanto miliknya yang berwarna silver. Itupun di hari libur kerja alias Ahad.
Hafidzah sengaja mengajak Feb untuk memilih warna kain untuk dekorasi pernikahannya, desain dan model yang dikehendaki di Almair Hotel. Termasuk menu makanannya, tanpa memperdulikan harga.
Mengajak mencoba gamis untuk pernikahan, kerudung dan tiara. Feb selalu memilih yang sederhana untuk gaun berupaya jangan sampai melanggar aturan syariat.
Mereka juga mencoba cincin pernikahan yang akan di pesan. Memilih tanpa berlian agar lebih mudah untuk dipakai saat menjalankan aktivitas harian. Untuk Jan dipilihkan yang berbahan platina.
Sharing dan makan bersama tak luput dari kegiatan mereka. Yang dibicarakan adalah pola hidup Januar Adam yang kelak menjadi suami Feb. Dan pola hidup Feb yang ingin diketahui Hafidzah agar bisa menyampaikan ke puteranya. Supaya ketika ada masalah dapat paham bagaimana mengatasinya. Agar keduanya berusaha saling memahami.
Setiap kali Hafidzah menceritakan tentang Feb kepada Jan. Telinga Jan memerah sedikit sekali sehingga tidak terlihat karena sedikit tertutupi rambutnya. Entah apa yang dipikirkan Jan.
Mulai dari hal yang disukai sampai hal yang dibenci. TMI seperti itu dibutuhkan. Visi misi menjalin keluarga. Prinsip hidup bersama. Harus dipikirkan matang-matang oleh kedua pihak. Di sini, Hafidzah hanya berperan sebagai mak comblang.
***
Hai guys, gimana ceritanya? Menarik kan?! Yuk tinggalkan komentar dan vote kalian
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
JAN-FEB
Spiritual"Mungkin dia bukan jodohku. Yasudah Aku nekat saja menikahi orang lain." ~Januar Adam~ "Gak punya orang untuk dicintai ngenes banget yah! Mumpung ada yang ngajak nikah langsung kasih cincin. Kenapa harus ditolak?!" ~Febrianti~ *** Ditinggal nikah ol...