Layaknya karang yang dihempas sang ombak. Aqilla Syarifah hadir waktu menjelang malam. Kalimat cantik terlalu rendah untuk memuji paras rupawan itu. Insecure sudah pasti melingkupi hati Febri.
"Alhamdulillah, Ning Qilla akhirnya datang juga" Ucap Erin menyambut sahabatnya dengan penuh bahagia.
"Ning Qilla gimana kabar Pak Kyai?" Tanya Hafidzah usai disalami perempuan itu.
"Alhamdulillah, Kakek dan Abah sehat Tan. Tolong panggil Qilla aja!" Ucapnya dengan senyum seindah bidadari surga. (Dari sudut pandang Feb. Penj.)
Informasi singkat mengenai Aqilla Syarifah sebagai keturunan Kyai menghancurkan kepercayaan diri Feb sampai ke inti dalam bumi. Ingin menangis, tapi ia manusia kuat. Topeng bahagia sudah biasa dipakainya, penutup segala kesedihan. Hanya di depan Ksatria, tuan putri bisa menuangkan segalanya.
Saat Ksatria sedang tidak di samping sang putri, topeng itu bertengger bagai benteng kekuatan. Teringat akan kenangan kecil, ketika Ayah dan Ibu harus berdagang. Feb kecil diminta mengambil sesuatu di dalam kamar, kemudian ketika sudah memasuki ruang itu. Pintu dikunci oleh sang Ayah.
Ayah berpesan pada Narda agar tidak membukakan pintu sampai Ayah dan Ibu sudah jauh meninggalkan rumah. Narda mengangguk, meski berat. Lima menit berlalu, Narda membuka pintu kamar. Ia melihat Feb terduduk di sudut ruang dengan lutut menyentuh dagu. Tidak ada air mata, gadis itu tersenyum dengan tatapan kosong.
Narda merengkuhnya dalam pelukan. Kehangatan tubuhnya menjalar ke relung hati Feb. "Dek, kalau sedih nangis aja. Kakak di sini! Akan setia menjadi Ksatria untuk tuan putri" Ucap Narda kecil menatap Feb lekat.
Kalimat singkat terasa begitu hangat. Mencairkan hati yang membeku. Gadis itu menangis histeris. Air mata tumpah membasahi baju Narda. Cukup lama hingga tangis reda. Senyum kembali menyapa. Keduanya meninggalkan ruang itu. Berjalan bergandeng tangan ke ruang tengah. Narda membacakan buku untuk Feb yang berbaring di sampingnya. Kisah klise tentang Ksatria dan tuan putri. Feb pun tertidur.
"Qilla, kenalkan ini adik ipar Aku. Namanya Febrianti Putri" Ucap Erin mengenalkan Feb padanya.
Keduanya bersalaman. Doa untuk kebahagiaan Feb, selaku mempelai terucap dari bibir indah Aqilla. Dilanjutkan dengan sesi foto. Setelahnya, Erin mengajak Aqilla menyantap hidangan di Ballroom A sembari berbincang.
Pukul 20:00, acara resepsi berakhir. Aqilla sudah pulang bersama suaminya yang ketemuan lagi di loby hotel, sejak 30 menit lalu. Jejaknya masih tertinggal di hati Feb, berupa sayatan.
***
Kehadiran Nadhif di Ballroom B disambut baik oleh Keluarga Adam, termasuk Januar. Ia tidak merasakan sakit sebagaimana pertama kali bertemu pria itu. Mungkin, karena Nadhif sedang tidak bersama Aqilla. Atau mungkin karena euforia pernikahan yang membuat Jan merasa sebagai tokoh utama, sedangkan Nadhif si figuran?! Hanya Jan dan Tuhan yang tahu.
'Apakah Aqilla juga hadir? Apa dia bertemu Feb? Ku harap tidak terjadi masalah', sekelumit isi pikiran Januar Adam.
Aqilla dan Febri bagai dua sisi mata uang bagi Jan, untuk saat ini. Tidak bisa dipisahkan dari hati dan pikirannya. Aqilla, masa lalu yang pernah singgah di hatinya. Pemahat cinta dan luka yang masih bersemayam. Dan Febri adalah isteri yang harus dia bahagiakan. Yang janji itu sudah dicatat para malaikat.
Namun, di waktu ini. Di saat ini. Januar Adam hanya bisa terdiam dengan senyum terpaksa yang masih harus terkembang menerima para tamu undangan.
***
Pekan lalu penulis sedang diberi ujian berupa sakit oleh Allah SWT. Jadi sempat ketunda updatenya.... Ini juga ditengah kesibukan masih sempat-sempatnya lagi ngelanjutin cerita.... Wkwkwkwk
Selamat membaca yaa
KAMU SEDANG MEMBACA
JAN-FEB
Spiritual"Mungkin dia bukan jodohku. Yasudah Aku nekat saja menikahi orang lain." ~Januar Adam~ "Gak punya orang untuk dicintai ngenes banget yah! Mumpung ada yang ngajak nikah langsung kasih cincin. Kenapa harus ditolak?!" ~Febrianti~ *** Ditinggal nikah ol...