⭕️⭕️⭕️Pukul 05:00 AM,
Markas B'PLACIDE.Hari ini adalah hari pertama bagi Jane kembali memimpin timnya untuk menjalankan misi pertama mereka. Sesuai kesepakatan yang udah dibicarakan, kelompok perempuan bakal ke Desa Vada sedangkan kelompok laki-laki akan ke Galeru.
Jane gugup. Udah lama banget sejak terakhir kali dia memimpin misi seperti ini. Dan yang terakhir kali, dia tau dan semuanya tau, dia gagal. Tapi kali ini, dia harus bisa membuktikan kalo dia mampu.
Chu terlihat mengantuk berat. Matanya merem-melek dengan mulut yang terus-terusan menguap. Sama seperti pengarahan Jane pagi ini ke mereka yang menguap gitu aja di kepalanya. Sial! Ini efek kelamaan tidur tadi malam.
"Chu!" sentak Jane yang menyadari sepupunya itu duduk sambil tertidur.
"Ha? Kenapa?" Chu kaget dan segera mengucek matanya yang merah.
"Lo dengerin gak sih dari tadi gue ngomong apa?"
"Dengerinlah. Masa engga? Yeu."
"Apa coba yang gue bilang?"
Nah loh? Kena! Chu diam, menggaruk-garuk kepalanya yang gak gatal sama sekali. Sampe mana tadi arahan Jane yang dia dengar? Udah gak ingat. Hem. Udah tau punya sepupu kayak singa hutan, masih aja nyari gara-gara.
"Lo kalo gak fokus mending gak usah ikut. Tidur sana di kamar!" sindir Jane.
"Iye, iye. Maap. Yaudah ini gue serius. Sampe mana tadi?"
Jane memutar kedua bola matanya malas. Tunggu di gas biar tau batas.
"Telat. Udah selesai arahannya. Mending sekarang lo masukin data-data Lalizara ke sistem."
Mendengar namanya disebut, perempuan berponi yang sekarang asik mengunyah cadbury, segera menoleh dengan tatapan bingung.
"Kenapa diinput lagi? Kan udah pernah?" tanyanya.
"Dihapus sama Jane. Soalnya lo ngilang ntah kemana bertahun-tahun." Itu Hans yang menimpali.
Lalizara ingin mengomentari tapi cepat-cepat disambar oleh Jane. "Kenapa? Mau protes lo?"
"Hehe. Engga."
Jane berdecih. "Udah buru sana. Time is ticking. Kita harus cepat!"
"Iya, iya. Tensian mulu lo sama gue. Darah tinggi apa gimana?"
"Bacot!"
Rico menoleh pada Rose dan keduanya bertatap lalu geleng-geleng kepala dengan tawa kecil melihat Lalizara yang gak ada habis-habisnya berdebat dengan Jane.
"Gue aja yang input data-data Lalizara," tawar Ben yang bangkit berdiri dari kursinya, memberi isyarat pada Lalizara untuk mengikutinya ke suatu ruangan khusus di sisi markas.
Lalizara tanpa mengeluarkan sepatah kata, patuh melangkah. Chu diam. Memperhatikan keduanya dalam hening dan pemikiran serius di kepalanya. Sejak kemarin melihat ada sesuatu yang berbeda di antara Lalizara dan Ben, perempuan itu sulit berpikitan positif untuk membiarkan mereka hanya berdua. Should she interfere or just let them be? Tapi kalo dia ujug-ujug bertingkah aneh, bakal jadi masalah baru.
Ben menutup pintu, segera menyalakan komputer yang berlayar besar dan tipis di depannya. Di ruangan itu terdapat banyak komputer dan peralatan teknologi canggih yang lainnya.
Lalizara menarik kursi agar dia bisa duduk di sebelah Ben yang fokus mengutak-atik sistem komputer.
"Put your hands on top of the scanner," ucap Ben sambil menunjuk scanner sidik jari di sebelah keyboard.
Lalizara menuruti perintahnya dan meletakkan jarinya di atas scanner. Sistem komputer terlihat menampilkan pola sidik jari Lalizara di layar dengan tulisan:
Processing...
Terdengar suara virtual assistant keluar dari device dihadapan Lalizara dan cahaya hijau yang naik turun dibawah telapak tangannya.
"Teknologi biometric," ucap Lalizara.
Ben menoleh dengan senyum tipis di bibirnya. "Iya. As you know, semua peralatan canggih di sini bisa diakses dari pola sidik jari kita."
"I know."
Keadaan kembali hening. Ntah mengapa bagi Ben ini sedikit canggung tapi bagi Lalizara biasa aja. Dia memang menunggu momen ini.
Beberapa meni kemudian, virtual assistant kembali bersuara.
Done...
Data pola sidik jari Lalizara berhasil terekam dan ditampilkan di layar komputer. Ben meraih sebuah benda yang mirip seperti mancis dari dalam laci meja di sekitarnya.
"Jari lo," katanya.
Lalizara menjulurkan jarinya. Ben kemudian mendekatkan benda itu di atas telunjuk Lalizara.
"Shit!" gerutu perempuan itu. Dia merasa tusukan kecil menyetuh kulit jarinya efek dari benda itu. Dia mengibas-ngibaskan tangannya dan meniupnya lembut.
"You oke?"
"I'm fine. Just a little shock." Lalizara tau alat itu untuk mengambil sample darahnya untuk keperluan input data kesehatan dirinya.
"Berdiri disitu," Ben menunjuk pada bilik kecil yang di kelilingi kaca transparan.
Lalizara mengangguk dan memasuki bilik tersebut. Lampu di dalam bilik itu menyala. Menutupi tubuh Lalizara dengan cahaya berwarna biru.
Body Analysis Screen...
Di layar komputer kembali terlihat perekaman data tubuh Lalizara dari atas kepala sampai kaki. Tinggi badan, berat dan heart rate juga muncul disana.
Membutuhkan cukup panjang waktu sampai perangkat teknologi pintar itu selesai mendapatkan data yang dibutuhkan. Sementara Ben mengetik dengan cepat di keyboard.
Setelah beberapa menit berlalu. Semua data berhasil terekam. "All done. Lo boleh keluar." Ben menatap Lalizara yang perlahan keluar dari bilik itu.
"Thanks."
Ben membalas senyum itu. "No problem. Anything for the team."
Lalizara mengangguk lalu menatap Ben intens membuat laki-laki itu bingung. Apa ada yang salah dengan wajahnya?
"Ben."
"Ya?"
"I wanna tell you something."
Ben terdiam, lalu menelan ludah perlahan. Melihat tatapan serius di wajah Lalizara membuatnya mengantisipasi. Sekilas dia lirik ke pintu yang tertutup rapat lalu kembali menatap Lalizara yang tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
MISSION : The Unknown Enemy ✔️
FanfictionMantan kapten agen rahasia, Ruby Jane, dihadapkan dengan pilihan sulit antara memilih kembali bergabung pada timnya demi menuntaskan misi yang mengacaukan negara atau menolak misi itu. Di sisi lain, dia sedikit terusik ketika Rico Jenson, saudara ka...