Prologue

557 106 73
                                    

"Na, nanti kalau sudah besar, harus pandai memilih mana yang sekiranya cocok dijadikan pasangan hidup," kata Mama seraya mengusap kepala anak perempuan yang berumur delapan tahun itu.

Danah menatap mamanya dengan mata yang berbinar-binar. "Lho, memangnya pasangan hidup bisa dipilih, Ma?"

Mendengar pertanyaan gadis kecilnya itu, Mama tertawa. 

"Ya, bisa, dong, Na." Mama mengambil sisir dan membuka laci meja di samping tempat tidur Danah. "Kalau enggak pandai memilih, malah repot di hari tua nanti, seperti Mama," kata Mama yang kini memegang sisir dan mulai menyisir rambut hitam gadisnya. 

Danah terdiam mendengar ucapan mamanya. Benar juga kata Mama. Kalau tidak pandai pilih pasangan, nanti anak Danah tidak bisa serumah dengan papanya. Kalau tidak pandai pilih pasangan, nanti anak Danah tidak bisa jalan bersama dengan kedua orang tuanya. Kalau tidak pandai pilih pasangan, nanti anak Danah sering dengar orang tuanya bertengkar. Danah tidak mau itu. Pokoknya, not a chance

"Na, ini rambut kamu Mama kepang aja, ya." Suara Mama membawa Danah kembali dari lamunannya. 

Danah mengangguk kecil. "Ma, Mama inget, enggak, dulu Mama pernah bilang ke aku, Mama sama Papa itu pisah dan itu enggak termasuk dosa?"

Mama tersenyum kecil mendengar pertanyaan Danah. Ia mengambil karet rambut berwarna merah muda dan mengikatnya pada rambut Danah yang sudah terkepang rapih. "Iya, Na. Mama inget, kok. Berpisah itu enggak dosa, tetapi Allah SWT murka, Na." 

Mama tersenyum melihat gadisnya yang terlihat menggemaskan dengan rambut kepangnya itu. "Makanya, Na, nanti kalau sudah besar, harus apa?" tanyanya.

"Harus pandai milih pasangan hidup!" Danah tersenyum lebar menjawab mamanya. Ia beranjak dari tempat tidurnya dan melompat-lompat kecil, menikmati rambut kepangnya yang berayun-ayun di sekitar bahunya. 

Mama tersenyum melihat gadis kecilnya yang bahagia. Ia mengambil jilbabnya yang tergeletak di tempat tidur dan memakainya. Kemudian, Ia beranjak dari tempat tidur dan mengambil jilbab kecil Danah dari lemarinya. "Yuk, Na. Katanya hari ini mau jalan bareng Papa? Pakai dulu jilbabnya, Sayang." 

Danah menghampiri mamanya. Ia sudah siap dengan gamis kecil berwarna merah mudanya, pemberian Papa. Mama dengan berhati-hati memakaikan Danah jilbab kecil dengan warna yang senada gamisnya. 

"Anak Mama yang cantik, salihah, tangguh, dan pintar." Mama memuji Danah seraya mencium-cium pipi gadisnya itu. "Have fun with Papa, ya, Sayang." 

Danah tersenyum lebar dan mengangguk pada Mama. Jilbab dan gamis kecil yang dipakai Danah membuatnya terlihat begitu menggemaskan. Mama menggenggam tangan kecil gadisnya dan mengantarkannya ke ruang tamu. Di sana, sudah ada sosok pria yang duduk di sofa putih. Fawaz, mantan suami Jaziyah, Papanya Danah. Ia tersenyum dan beranjak dari sofa itu. Danah melepaskan tangan mamanya dan berlari kecil ke arah Fawaz. Gadis itu tersenyum lebar, pipi tembam kemerahannya berseri, matanya berbinar-binar.

"Assalamualaikum, Papa!" 

***

"Danah Barirah Ghafirah?"

"Hadir, Sir." Danah mengangkat tangannya ketika mendengar namanya dipanggil. Sir Pata Kusuma, MA. Dosen yang terkenal galak di Studi Hubungan Internasional. 

"Kamu enggak dengar tadi saya manggil nama kamu tiga kali?" Sir Pata menyipitkan matanya ke arah Danah. 

Kelas mendadak menjadi diam. Danah menelan ludahnya. Gadis berjilbab hitam itu tidak sadar bahwa dosen tersebut sudah memanggil namanya berulang kali. 

DahliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang