Danah mengernyitkan dahinya. Pandangannya jatuh pada sumber suara laki-laki yang baru saja memanggil namanya.
Apa-apaan?
Danah mengeraskan rahangnya. Tentu saja, jauh-jauh ia berjalan dari FISIP ke toko fotokopi ini, tetapi malah disambut dengan kehadiran anak Teknik Mesin yang tidak ingin ia temui lagi. Danah pikir ia dapat hidup tenang tanpa berurusan dengan teman-teman Haikal. Ia melupakan fakta bahwa FMIPA ini berdekatan dengan FT, wajar jika bertemu Naos di toko fotokopi milik Bang Ramzi.
"Sejak kapan?" tanya Danah dengan ketus. Kedua alisnya tertaut, menatap Naos seakan-akan ia adalah mangsa yang layak disantap oleh hewan buas.
"Iya, maksud gue tuh, lo Danah yang gagal digoda Liam, kan?" Naos menyunggingkan bibirnya.
Tiga kali Danah bertemu dengan laki-laki ini dan entah mengapa, setiap kalimat yang dikeluarkannya selalu berhasil membuat amarahnya memuncak. Mengapa Naos harus selalu mengecap dirinya sebagai korban pertaruhan itu? Danah mendengus. Malas menanggapi pertanyaan Naos, ia duduk di salah satu kursi dan meraih ponsel dari dalam tasnya. Jari-jarinya mulai mengotak-atik ponselnya, berusaha menyambungkan alat itu dengan komputer di hadapannya.
Senyuman itu tidak luput dari wajah Naos, kedua manik cokelatnya masih menatap Danah. Rania lagi-lagi memanyunkan bibir merahnya. Ia berjalan mendekati Naos, menyikut laki-laki berkacamata itu. Membuyarkan tatapannya dari Danah, Naos menolehkan kepalanya pada Rania.
"Ngapain, sih, senyum-senyum gitu?" tanya Rania, tubuhnya ia dekatkan pada Naos.
"Kagak, gue cuman lagi mikir kalo gue dah dapet bahan obrolan baru buat ntar pas nongki," balasnya, masih memperlihatkan gigi-giginya.
Rasa ingin tahu tertampak jelas di wajah Rania. "Emang dia siapa, sih?" tanyanya pada Naos.
Ramzi muncul dari balik tirai, sejumlah uang kembalian Naos berada dalam genggaman tangannya. Ia berjalan ke arah Naos dan berkata, "Dek, ini, ya, kembaliannya. Duit gede mulu, sih, susah gue ngambil ke belakangnya."
Alih-alih menjawab pertanyaan Rania, Naos malah berpindah fokus pada Ramzi, mengambil uang pemberiannya. "Sorry, sorry, next uang pas, kok, Bang," kekehnya.
Tanpa berpamitan dengan Danah, kaki Naos melangkah ke arah pintu keluar. "Udah, Ra, yuk, cabut," ujar Naos sambil merangkul Rania. Tubuh mereka membelakangi Danah.
Naos membuka pintu kaca itu. Masih merangkul Rania, kertas-kertas yang ada di tangannya ia gunakan untuk mentameng gadis itu dari panas sinar matahari. Mereka berjalan keluar dari toko fotokopi ini.
Rania mencubit pelan lengan Naos di pundaknya. "Ih, lo tadi enggak jawab pertanyaan gue, Naos," keluhnya. "Itu tadi siapa, sih?" Rania berdecak kesal.
"Sorry, Ra." Naos tertawa kecil. "Kan, udah gue bilang. Danahnya Liam."
Perasaan campur aduk itu kembali menguasai hati Rania. Tangan Naos yang tadinya merangkul pundak Rania berpindah, ia membelai lembut surai cokelat panjang gadis itu. Rania ingin bertanya lebih lanjut. Namun, Naos lebih dulu membuka suara.
"Ra, sebelum gue ngumpul tugas Pak Ari, kantin dulu sabi lah," ajaknya.
***
Danah menghembuskan napas dengan lega. Materi-materi dari Bu Shaffa terkait sejumlah teori ekonomi global sudah berhasil ia cetak. Danah mengambil stapler, menjepit kertas-kertas itu. Nyaris tiga puluh lembar. Sebenarnya, Danah tidak keberatan jika harus menanggung biaya sejumlah kertas itu sendiri, tetapi ia tidak ingin nantinya, Mio akan menerornya lagi. Danah mengambil ponselnya yang terletak di samping komputer. Ia membuka ruang obrolan kelompoknya, mengabari mereka bahwa ia sudah mencetak materi tersebut. Tidak lupa, ia juga memotret sejumlah kertas yang sudah ia cetak, mengirimkan foto itu di grup. Kalau urusan uang, dari dulu, Alhamdulillah anggota kelompok berdasarkan NIM yang berdekatan dengannya itu tidak pernah tidak bertanggung jawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dahlia
Teen Fiction"Permisi, Mba, tahu jalan ke kafenya, enggak?" Laki-laki itu bertanya kepada Danah. Ia menyeringai. Jalan ke kafe katanya? Danah mengangkat satu alisnya. "Lah, ke situ, kan, Mas?" Danah bertanya balik dan menunjuk kafe yang tidak lebih dari empat...