Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan terdengar dari pintu rumah Danah. Jaziyah berjalan dari kamar tidurnya, ia melangkah ke arah pintu depan itu. "Iya, sebentar," serunya.
Danah menunggu Mama untuk membukakannya pintu. Jaziyah memutar kunci yang tertaut di pintu perlahan-lahan, membuka pintu kayu itu.
Wajah Danah yang berseri-seri menyambut mamanya. "Assalamualaikum, Ma," ujarnya sambil tersenyum. Danah menyalimi tangan Mama, mencium punggung tangannya.
"Waalaikumsalam, anak gadis Mama." Mama membalas senyuman Danah dan membelai kepalanya. Ia mempersilakan Danah untuk masuk ke dalam rumah.
Danah melangkah masuk. Mama menutup pintu, mulai memutar kunci itu. Danah berdiri di belakang mamanya, menunggu ia selesai mengunci pintu.
"Gimana tadi? Kirain Mama bakal sampe sore, Na," ujar Mama seraya membalikkan tubuhnya, pintu kayu itu sekarang sudah terkunci kembali.
"Hmmm, makanannya enak," jawab Danah sambil mencoba mengingat beberapa hal menarik di kafe tadi, "kafenya juga cozy, lumayan gede gitu tempatnya, Ma. Acaranya sebentar aja ternyata."
Mama mengangguk pelan seraya mendengarkan cerita gadisnya. "Tadi sama Mio? Siapa aja yang dateng, Na?" tanyanya penasaran.
"Iya, Ma, sama Mio, terus ada Kak Liya, kakak tingkat Danah yang di Jurusan Administrasi Negara, pokoknya lumayan rame gitu, deh." Danah tidak ingin menyebutkan pertemuannya dengan anak-anak Teknik tadi. Mama adalah tipe ibu-ibu yang selalu ingin tahu tentang pertemanan anaknya dan itu bukan suatu hal yang buruk, tetapi Danah tidak ingin Mama mengingat mereka. Lagipula, Danah yakin ia tidak akan bertemu dengan komplotan Teknik itu kembali.
Sebelum Mama melontarkan pertanyaan berikutnya, Danah lebih dulu bertanya. "Mama sendiri gimana? Tadi di rumah aja, kan? Enggak ke toko?"
Yarhayfa, nama toko busana Muslimah yang dimiliki Jaziyah di Jakarta. Sudah bertahun-tahun lamanya ia menjalankan bisnis itu, bahkan dari sebelum Danah ada di dunia ini. Danah masih ingat dulu, ia sering berlari-larian di dalam toko itu, mengamati sejumlah pakaian yang akhirnya membuat ia tertarik dengan hijab.
Mama menggeleng. Ia duduk di sofa. "Enggak, Na. Kan, Sabtu, nih, lagian juga ada Tante Tara yang bantu ngawasin. Mama di sini doang dari tadi, nontonin film," ujarnya, menunjuk layar televisi.
Danah tertawa kecil. "Iya, sih, Ma. Danah juga mau nonton film atau serial sama Mama nanti malem, movie night gitu, yuk, Ma," ujar Danah sambil memperlihatkan gigi-giginya itu. Mendengar ucapan gadisnya, Mama terkekeh pelan.
"Iya, Na, boleh. Udah, gih, bersih-bersih dulu, ganti bajunya, mandi, bau asyemmm, nih," ledek Mama sambil berpura-pura menutup hidungnya.
Danah memanyunkan bibirnya, di hadapan Jaziyah, ia hanyalah seorang gadis kecil. "Iya, Ma, aku ke kamar, deh, ya," ujarnya sambil berjalan menjauhi ruang tamu.
Mama tertawa dan mengiyakan perkataan gadisnya. Televisi itu ia nyalakan, kembali menonton layarnya.
Danah membuka pintu kamarnya, mengucapkan salam. Lampu kamarnya dinyalakan dan ia menaruh tas di atas meja belajarnya. Oh, iya, Danah belum mengabari Mio dan Liya. Ponsel Danah ia keluarkan dari tas. Jari-jari lentiknya bergerak di layar itu, memberi tahu Mio dan Liya bahwa ia sudah sampai di rumah.
Danah kembali menaruh ponselnya di dalam tas. Ia membuka jilbabnya perlahan-lahan, menarik simpul yang tertaut, memperlihatkan rambut hitam panjang sepunggungnya yang terurai. Ia mengambil handuk dan hendak masuk ke dalam kamar mandi, membersihkan tubuhnya yang baru saja dari luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dahlia
Teen Fiction"Permisi, Mba, tahu jalan ke kafenya, enggak?" Laki-laki itu bertanya kepada Danah. Ia menyeringai. Jalan ke kafe katanya? Danah mengangkat satu alisnya. "Lah, ke situ, kan, Mas?" Danah bertanya balik dan menunjuk kafe yang tidak lebih dari empat...