"Assalamualaikum," ujar Liam.
Danah mengedipkan matanya. Ia menggelengkan kepalanya pelan, mencoba membuyarkan pertanyaan-pertanyaan itu. Danah membuka bibirnya perlahan.
"Waalaikumsalam," jawabnya pada salam yang tidak pernah ia ekspektasikan keluar dari mulut laki-laki itu.
Masih dengan satu alisnya yang terangkat, Liam bertanya, "Gue boleh masuk?"
Danah mengangguk pelan. Tangannya membuka pintu rumah lebih lebar, membiarkan Liam memasuki suakanya. Manik hitam legam Liam membaca sekilas dinding-dinding rumah gadis ini. Barang antik, sofa ukir tua, cat dinding luntur, dan lantai dengan setidaknya tiga keramik retak. Ada tangga kayu di sebelah kanan. Rumah berlantai dua. Jelas bahwa Danah hidup di dalam tempat ini sejak ia kecil.
Pintu rumah ditutup kembali oleh Danah. Belum sempat ia memperkenalkan Liam pada sosok yang sedang duduk di ruang tamu, perempuan paruh baya bergamis itu lebih dahulu menghampiri mereka.
Mama tersenyum lebar pada Liam. "Eh, halo. Kamu temennya Mio, ya, Nak?" tanyanya.
Liam, refleks, menyalimi tangan Mama. Laki-laki ini bisa tersenyum juga ternyata. Ingin sekali mengeluarkan ribuan pertanyaan di benak Danah, tetapi mari kita prioritaskan mesin cuci sialan itu.
Danah berdeham, membuat Mama kembali menatap gadis kecilnya. "Ini temen Mio yang katanya bisa benerin mesin cuci itu, Ma," ujar Danah, sengaja menekankan beberapa kata.
Liam mendengus. Jika bukan karena Haikal, tak akan ia datang ke sini. Pasalnya, perempuan di hadapannya ini jelas tidak sudi dengan kehadirannya. Alis berkerut, mata sinis, senyum palsu.
Percayalah, Danah, Liam juga merasakan hal yang sama sepertimu.
Senyum Mama melebar. Liam bisa melihat betapa miripnya Danah dengan perempuan itu. Liam berpikir di masa depan nanti, mungkin raut wajah Danah akan benar-benar menjiplak wajah Jaziyah. Tunggu sebentar, di masa depan? Wake up, Liam. Did you just think about Danah in the future?
Tawa perempuan paruh baya di hadapan Liam berhasil membuyarkan pikiran tidak warasnya.
"Oh, iya, nama kamu siapa, Sayang? Maaf, ya, hari liburnya dipake buat benerin mesin cuci," ujar Mama.
Bibir Liam terbuka perlahan, hendak menjawab. Di depan Mama Danah, matanya melembut. Tidak perlu meminta maaf, demi perempuan paruh baya di hadapannya ini, demi perempuan paruh baya yang mengingatkannya pada Ibu, Liam mau memberikan bantuan.
"Li-"
"Liam, Ma," potong Danah.
Raut wajah tak terbaca itu dengan cepat kembali muncul di wajah Liam. Helaan napas keluar dari mulut Liam. Hilang sudah rasa hangat yang ia rasakan di dadanya.
Sejak awal Liam mendaratkan pandangannya pada gadis bergamis di hadapannya ini, ia tahu. Berhati-hati atau berprasangka buruk sudah melekat dalam diri Danah.
Ia melirik sinis ke arah Liam. "Mama mendingan nunggu di ruang tamu aja, deh. Nanti Danah kabarin gimana-gimananya biar cepet selesai, oke?"
Gadis itu menarik dua sudut di bibirnya, mencoba meyakinkan Mama.
Seratus persen Liam percaya bahwa Danah pasti tidak ingin membiarkan mamanya berlama-lama dalam satu ruangan bersama Liam.
Laki-laki berambut hitam acak-acakan itu berdeham. Sebisa mungkin ia ingin pergi dari tempat ini.
Get in, get out.
Simpel. Membenarkan mesin cuci seharusnya tidak butuh waktu lama. Should be easy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dahlia
Teen Fiction"Permisi, Mba, tahu jalan ke kafenya, enggak?" Laki-laki itu bertanya kepada Danah. Ia menyeringai. Jalan ke kafe katanya? Danah mengangkat satu alisnya. "Lah, ke situ, kan, Mas?" Danah bertanya balik dan menunjuk kafe yang tidak lebih dari empat...