Danah menaruh kunci rumahnya di dalam laci. Tubuhnya terasa sangat lelah karena sudah berjam-jam berada di kampus. Beruntungnya, Danah sudah melaksanakan salat di masjid kampus. Jam sudah menunjukkan pukul lima lewat dua puluh tiga menit. Mama masih di Yarhayfa. Tadi, ia sudah mengirim pesan pada Danah, memberi tahu bahwa ia akan menginap di rumah Tara, sahabat karib Jaziyah yang sudah lama ia kenal, bahkan sebelum bertemu dengan Fawaz. Malam ini, Danah akan tidur sendirian di rumah.
Danah kembali mengecek ponselnya. Tidak ada satupun balasan dari teman-teman sekelompoknya. Sudah ia duga, tetapi tetap saja, kesal. Danah meletakkan ponselnya di atas meja, hampir membanting benda itu. Ia berjalan melewati ruang tamu ke arah dapur. Tangan Danah membuka kulkas, mengambil sebatang cokelat dari dalam freezer. Ia membuka bungkus produknya. Giginya menggigit cokelat itu, berusaha mengatasi kegelisahannya. Mungkin, ini yang disebut-sebut orang sebagai stress eating.
Ia berjalan lagi menuju ruang tamu. Danah menyalakan televisi, mencoba mengalihkan pikirannya. Suara-suara dari layar itu terdengar cukup keras. Danah duduk di sofa, mengambil ponsel itu kembali. Jarinya membuka ruang obrolannya dengan Mio. Danah memutuskan untuk menghubungi sahabatnya, bukan untuk mengeluh, hanya untuk basi-basi.
Danah: "Mi."
Danah: "Lagi di mana, nih?"
Tidak lebih dari semenit, Mio sudah mengetik di layarnya itu.
Samio: "Nongki, Na."
Samio: "Bareng Samuel."
Kening Danah berkerut. Faktanya, dengan persetujuan dari Mio sebelumnya, memang benar bahwa Danah sudah memberi nomor telepon Mio kepada anak Teknik Elektro itu, tetapi ia tidak menyangka bahwa mereka akan langsung jalan berdua saat ini juga.
Samio: "Napa, Na?"
Samio: "Is there anything u wanna tell me?"
Danah sedikit membelalakkan matanya. Oh, iya, ia lupa bahwa Mio sudah sangat mengenal dirinya. Itu artinya Mio tentu akan merasa curiga ketika Danah tiba-tiba berbasa-basi padanya karena biasanya, Danah tidak pernah seperti itu, kecuali saat ia sedang menyembunyikan segala tekanan yang ia rasakan itu dalam-dalam.
Danah dengan cepat menggerakkan jari-jari lentiknya, tidak ingin sohibnya itu menyadari bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. Danah tidak ingin Mio menjadi khawatir padanya.
Danah: "No, I'm good, Mi."
Samio: "U sure?"
Samio: "Karena kalo emang ada apa-apa, I'll ditch this guy, beneran bakal langsung otw."
Danah menggelengkan kepalanya, menarik dua sudut bibirnya itu. Pesan Mio yang berkata bahwa ia rela meninggalkan Samuel demi berada di sisinya benar-benar menyentuh hati Danah. Namun, Danah tidak mau menjadi salah satu penyebab patah hati Samuel. Danah kembali mengetik di layar ponselnya.
Danah: "NO."
Danah: "I'm good, have fun bareng Samuel."
Danah: "Jangan pulang kemaleman."
Tanpa menunggu balasan Mio, Danah mematikan layar ponselnya. Ia beranjak dari sofa dan berjalan menuju kamarnya. Pertama-tama, ia akan membersihkan tubuhnya terlebih dahulu. Setelah itu, beribadah. Danah berharap semoga teman-teman sekelompoknya itu akan membalas pesannya.
***
Ting! Ting! Ting!
Notifikasi terus-menerus masuk ke dalam ponsel Danah. Memang benar, cara paling tepat adalah bercerita ke Allah SWT, langsung diberikan jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dahlia
Teen Fiction"Permisi, Mba, tahu jalan ke kafenya, enggak?" Laki-laki itu bertanya kepada Danah. Ia menyeringai. Jalan ke kafe katanya? Danah mengangkat satu alisnya. "Lah, ke situ, kan, Mas?" Danah bertanya balik dan menunjuk kafe yang tidak lebih dari empat...