Part Thirteenth

157 59 65
                                    

Liam mengempaskan tubuhnya di kasur. Kamar apartemennya itu sangat sederhana. Dinding hitam dengan perabotan sehari-hari. Selain kamar mandi, terdapat juga dapur di sini. Hanya saja, Liam tidak pernah memasak. Laki-laki berambut hitam itu sebenarnya bisa 'bermain dengan panci dan spatula', tetapi ia tidak memiliki niat yang cukup kuat untuk memasak. Liam menarik rokok dari kantong celananya. Jari telunjuk dan jari tengahnya menjepit rokok itu dengan ibu jari di bawahnya. Liam menyalakan sumbunya. Ia menarik asap rokok itu dengan dalam dan perlahan lalu mengembuskannya keluar. Kamar tidur Liam ber-AC, tetapi ia tidak peduli dengan asap rokok ini. Lagipula, tidak akan ada yang berkunjung ke kamarnya. Liam menyukai kesunyian. Ia memejamkan matanya sejenak. Wajahnya terlihat tenang.

Ponsel Liam bergetar. Ia menaikkan satu alisnya. Ponsel itu diraih oleh tangannya yang satu lagi. Liam bisa menduga siapa yang memutuskan untuk memanggilnya setelah selesai kuliah. Tanpa melihat nama kontak yang meneleponnya, jari Liam menekan tombol terima. Ia menempelkan benda itu pada telinganya.

Suara seorang perempuan yang sangat ia kenal terdengar di seberang panggilan. "Assalamualaikum, Abang. Lagi apa, nich?" tanya Liana, adik perempuan Liam.

"Waalaikumsalam. Habis kelar kuliah tadi, kenapa, Dek?" tanya Liam. Ia kembali menghirup zat nikotin di tangannya itu.

Gadis yang masih duduk di bangku SMP kelas dua itu ber-oh ria. "Enggak apa-apa, sih, nelpong aja. Abang kapan pulang lagi ke rumah?" tanyanya.

Rumah Keluarga Rasendriya berada di Bekasi. Jarak tidak menjadi suatu masalah, Jakarta-Bekasi tidak jauh. Liam hanya malas bertemu dengan pria itu. Namun, demi Ibu dan saudari-saudarinya, ia rela pulang ke rumah di waktu luang.

Liam mengembuskan asap rokoknya. "Iya, nanti Abang pulang. I promise I'll go home this week," ujarnya berjanji pada adik kecilnya.

Liana memekik kecil, membuat Liam harus menjauhkan ponsel dari telinganya sedikit. "Asik! Oh, by the way, Mba Liria minggu ini juga bakal ke rumah, hehe. Nanti bakal ketemu si Naomi juga, Bang."

Liam menarik kedua sudut bibirnya. Naomi, bayi perempuan berumur dua tahun, anak dari Mba Liria yang merupakan kakak perempuan Liam. Ia bisa membayangkan betapa berisinya bayi itu setelah lama tidak bertemu. Terakhir bertemu dengan Naomi, tahun lalu. Liam kembali mengingat pertengkarannya dengan Ayah. Kedua alisnya tertaut. Ia ingin mengubur ingatan itu dalam-dalam.

"Abang?" tanya Liana, membuyarkan pikiran Liam. Laki-laki itu lupa ia masih berada dalam panggilan bersama adiknya.

"Yeah?"

"I miss you. A lot," ujar Liana sendu. Bagi gadis itu, rumah sepi. Mba dan Abang pergi meninggalkannya. Satu sudah menikah, satu sudah kuliah. Belum lagi, Ayah dan Ibu tidak pernah absen beradu mulut.

Liam bisa membayangkan wajah sayu adiknya itu. Ia menghela napas. "I miss you too, Kiddo."

Liana tersenyum di seberang telepon. Gadis itu sebenarnya baru saja pulang dari sekolah, seragam dan jilbab putihnya belum ia ganti. "Abang udah Asar, belum?" tanyanya pada Liam, merasa bahwa ia harus selalu memastikan abangnya ingat pada Allah SWT.

Liam melirik jam di dinding hitam itu. Jam lima lewat enam menit sore. Oh, ya, ia memang belum melaksanakan salat Asar. Ia terdiam sejenak. "Belum. After this call," ujarnya.

"Ih, Abang, jangan tunda-tunda salatnya, nanti rezekinya ikut ketunda, lho," ceramahnya pada Liam yang masih merokok, mendengar celotehan adiknya.

Liam mengiyakan perkataan adiknya. "I get it. Udah, ya, Dek. Abang tutup teleponnya," ujarnya.

"Eh, bentar, bentar, jangan tutup dulu, Abang," kata Liana lalu ia berdeham, "dadah, Abang, love you, assalamualaikum."

Adik Liam itu ingin mengucapkan salam terlebih dahulu sebelum menutup telepon dengan abangnya.

DahliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang