Dingin. Udara dari AC menyentuh langsung kulitnya. Ia menarik selimut yang tebal itu agar bisa menutupi tubuhnya. Gerakan dari sebelahnya membuat ia tidak dapat memejamkan mata lagi. Selimut yang awalnya terbalut pada tubuhnya sekarang malah berpindah pada tubuh seseorang di sebelahnya. Ia menautkan kedua alisnya. Kedua manik hitamnya terbuka. Liam menghela napas, tidak dapat kembali tidur. Kepalanya ia tolehkan pada gadis tidak berbusana di sebelahnya. Liam, bahkan tidak ingat siapa perempuan ini. Rasa nyeri mulai terasa di punggungnya. Jari-jari Liam mulai meraba ke belakang. Ia bisa merasakan bekas cakaran di sana. Liam berdecak kesal. Ia paling tidak suka jika ada yang meninggalkan bekas. Kepala Liam juga terasa berat, seperti berputar. Mengapa juga semalam ia memilih untuk meneguk vodka? Ia tahu dirinya ini jika sudah bertemu alkohol, pasti tidak akan berhenti.
Liam melihat ke sekelilingnya di dalam kegelapan dengan cahaya redup dari lampu tidur. Rumah kontrakan. Terdapat jas almamater kampusnya yang tergantung di belakang pintu kamar itu. Perempuan di sebelah Liam ini pasti satu universitas dengannya, paling-paling, seangkatan Liam. Tangan berurat Liam meraih ponsel yang tergeletak di atas meja sebelah tempat tidur, mengecek jam pada layar benda itu. Jam empat lewat lima menit. Pagi. Lebih tepatnya, Subuh. Liam mencampakkan selimut itu, mengekspos tubuhnya. Ia mengumpulkan pakaiannya yang berhamburan di lantai. Tangannya meraih dan memakai pakaian itu pada tubuhnya. Ia tidak ingin mandi di rumah kontrakan milik perempuan ini. Lebih baik Liam mandi di apartemennya sendiri. Liam tidak begitu ingat apa yang ia lakukan semalam. Samar-samar, ia tahu ia pergi ke suatu bar dan berakhir mabuk. Mungkin perempuan yang menghabiskan malam bersamanya adalah teman dari temannya.
Liam meraih ponsel dan dompetnya, memasukkan kedua benda itu di kantong celananya. Ia melangkah keluar dari kamar tidur. Ia berjalan keluar dari rumah kontrakan perempuan itu. Pandangan laki-laki berambut hitam acak-acakan itu mencari-cari mobil Pajero hitamnya. Ia menemukan kendaraan itu berada di garasi rumah kontrakan ini. Liam sedikit takjub ternyata semalam, ia berhasil memarkirkan mobilnya meski dalam keadaan yang tidak mendukung. Langit terlihat begitu gelap di luar. Dingin, itu yang dirasakan Liam. Ia tidak memakai jaket hitam semalam saat pergi ke bar bersama Naos. Liam menghela napas. Tangannya meraih kunci di kantong celana, membuka mobil itu. Ia melangkah masuk dan menyalakan mesin. Tangannya memegang setir mobil. Liam mulai menjalankan mobilnya ke arah apartemennya.
Setelah lima belas menit lamanya ia mengemudi, bangunan apartemen berwarna putih itu terlihat. Liam memarkirkan mobilnya. Laki-laki dengan kaus hitam tersebut turun dari kendaraannya. Liam memasuki bangunan itu. Kakinya berjalan ke arah elevator, memencet tombol di dinding. Ia masuk ke dalam elevator. Jarinya menekan tombol dengan angka 3 di sana. Elevator terhenti, Liam melangkah keluar. Tubuhnya berjalan ke arah kamar apartemennya. Kamar 327. Tangan Liam memutar kunci pintu itu. Ia melangkah masuk ke dalam. Tangannya kembali mengunci pintu. Kepalanya masih terasa sangat berat. Liam meletakkan kunci mobil di atas meja. Ia mengambil handuk, hendak membersihkan diri. Ia tahu bahwa ia harus melakukan kewajiban tersebut setelah aktivitasnya semalam.
Kaki Liam melangkah keluar dari kamar mandi setelah menghapus 'noda-noda' dari tubuhnya selama kurang lebih sepuluh menit. Ia bergegas berpakaian. Liam mengambil baju PDH hitam yang bertuliskan HIMATEM di belakangnya. Logo huruf M dengan slogan Solidarity M Forever di lengan baju sebelah kiri. Bordir yang bertuliskan Liam Bhairav Rasendriya di atas saku dada sebelah kiri. Hari ini, kemungkinan sore nanti, di kampus, ada rapat besar untuk anak Himpunan. Liam diwajibkan untuk hadir menggunakan PDH. Rasanya malas sekali menggunakan pakaian ini. Gerah, Liam tahu area fakultasnya itu tidak memiliki banyak pohon rindang.
Azan Subuh berkumandang terdengar di telinga laki-laki itu. Manik hitam legamnya melirik jam di dinding kamar. Pukul empat lewat empat puluh sembilan. Subuh. Liam berdecak. Ia sungguh tidak ingin ibadah Subuh. Ia tahu hukumnya apabila mandi wajib maka hal tersebut sekaligus sudah mencakup wudu, tetapi ia tetap tidak mau salat. Haruskah? Wajibkah? Pantaskah seseorang seperti Liam melaksanakan ibadah tersebut?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dahlia
Teen Fiction"Permisi, Mba, tahu jalan ke kafenya, enggak?" Laki-laki itu bertanya kepada Danah. Ia menyeringai. Jalan ke kafe katanya? Danah mengangkat satu alisnya. "Lah, ke situ, kan, Mas?" Danah bertanya balik dan menunjuk kafe yang tidak lebih dari empat...