Danah berlari menaiki tangga ke lantai empat. Pagi ini adalah kelas Bu Shaffa. Kelompoknya akan melakukan presentasi. Danah tidak telat, tetapi ia juga tahu bahwa kelas sudah ramai. Susah mendapatkan kursi kosong jika sebagian besar mahasiswa sudah datang. Napas Danah terengah-engah. Kakinya terbirit-birit melangkah menuju ruang kelas A 4.6. Danah berdiri di depan kelas, tangannya menggeser pintu kaca itu. Ia mengucapkan salam dengan pelan. Tubuhnya berjalan ke dalam kelas. Matanya mencari-cari kursi kosong atau kursi yang di sebelahnya ada Mio.
"Na, sini," seru Mio dari pojok kanan di tengah keramaian. Benar saja, kursi di sebelah Mio kosong, tersisa untuk Danah.
Danah mengangguk. Pundaknya terasa berat hari ini karena ransel yang ia pakai berisikan laptop. Kaki Danah berjalan ke arah Mio. Ia duduk di kursi itu.
"Tumben telat, Na. Ya, Bu Shaffa belom dateng, sih, tapi tumben banget kamu dateng di last minutes gini," ujar Mio.
"Iya, Mi. Tadi lama pas nyetak makalah. Printer-ku abis tinta," kata Danah seraya mengeluarkan alat tulis dan buku catatannya.
"Kamu yang nyetak? Bukannya si Dara sama Arva juga punya printer? Ke mane aje tuh berdua?" tanya Mio dengan sarkas.
Danah menghela napas, ia dari awal memang tidak menaruh harapan pada kelompoknya. Setelah kejadian tidak mengenakkan dengan Zachry seminggu lalu, Danah tidak pernah menuntut atau menagih pekerjaan mereka lagi. Biar saja, ia tidak peduli. Danah tidak ingin ambil pusing. Lebih baik Danah mencari sisa teori-teori itu sendiri. Namun, tiga hari sebelum pagi ini, Danah menerima pesan dari Arva dan Zachry. Kedua laki-laki itu mengirimkan materi mereka di grup. Meskipun telat mengirim dari tenggat waktu yang Danah berikan, setidaknya, mereka masih ingat dengan kewajiban masing-masing. Dari jauh-jauh hari, Danah sudah membaca dan menghafal sejumlah teori agar bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan teman sekelasnya. Kelas Bu Shaffa cenderung menggunakan sistem pengurangan poin jika teman sekelompoknya tidak bisa menjawab, tetapi terkadang, Bu Shaffa tidak memberi tahu apakah penilaian akan diberikan per individu atau kelompok.
Pintu kaca itu tergeser lagi. Perempuan berjilbab biru berumur empat puluhan tahun itu memasuki ruang kelas. Bu Shaffa menarik kursi dan menaruh ransel hitamnya.
"Assalamualaikum, semua. Pagi, ya. Saya tidak telat, kan?" tanyanya pada mahasiswa-mahasiswa di kelas.
"Waalaikumsalam, enggak, Bu. Ini juga baru pada dateng," jawab Agni. Laki-laki berkacamata itu tersenyum pada dosen mereka.
Bu Shaffa tertawa kecil. "Iya, saya enggak telat lah, ya. Oke, semua, kita hari ini akan presentasi, ya," ucapnya seraya membuka laptop, "kelompok yang maju pertama akan saya pilih secara acak, ya."
Suasana kelas seketika berubah menjadi tegang. Rasa cemas mulai terlihat di raut wajah beberapa mahasiswa. Tangan Mio menyentuh tangan Danah, lagi-lagi menunjukkan bahwa telapak tangannya itu berkeringat dan terasa dingin.
"Na, ih, takut banget. Gimana kalo kelompok aku duluan yang dipanggil?" tanya Mio cemas.
Danah mengusap-usap tangan Mio. "Tenang aja, Mi, bismillah. Biasanya, kelompok yang dipanggil maju ke depan cuman dua aja, kan? Sisanya, ya, kita bahas materi baru," balas Danah seraya tersenyum tipis pada Mio.
Mio menautkan kedua alisnya. "Iya, sih. Bismillah." Mio menangkup kedua tangannya, memanjatkan doa di waktu-waktu krusial ini.
Jari-jari Bu Shaffa bergerak di atas tombol papan laptopnya. Ia membuka dokumen-dokumen yang berisikan daftar kelompok. Mio menelan ludahnya. Danah tahu bahwa sohibnya itu benar-benar tidak siap jika dipanggil maju untuk presentasi hari ini. Bagaimana tidak jika semalaman ia bukannya menghabiskan waktu untuk memahami isi power point kelompoknya, tetapi malah pergi ke mal berdua dengan Raka. Danah menggelengkan pelan kepalanya, terheran-heran jika mengingat pesan Mio semalam yang mengabari kencannya dengan Raka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dahlia
Teen Fiction"Permisi, Mba, tahu jalan ke kafenya, enggak?" Laki-laki itu bertanya kepada Danah. Ia menyeringai. Jalan ke kafe katanya? Danah mengangkat satu alisnya. "Lah, ke situ, kan, Mas?" Danah bertanya balik dan menunjuk kafe yang tidak lebih dari empat...