Mio duduk terdiam di sebelah Danah, mendengarkan desak tangis sahabatnya. Matanya sendiri mulai berair. Jika Danah merasa sedih, Mio ingin Danah membagikan kesedihan itu padanya. Cukup. Mio tidak bisa melihat Danah seperti ini. Air matanya mulai membasahi maskaranya. Mio memeluk Danah, mengusap-usap punggung sahabatnya itu. Danah menyedot hidungnya. Air matanya masih terus mengalir. Napasnya terengah-engah.
"Na, udah, ya, stop crying," lirih Mio. Tangannya tidak berhenti mengusap punggung Danah dalam pelukannya. Mio menyuruhnya untuk berhenti menangis, tetapi ia sendiri juga masih menangis.
Di sela tangisnya, Danah tertawa kecil. Ia membalas pelukan Mio. "Mi, kamu juga lagi nangis, lho," ujarnya seraya tersenyum tipis.
"Ih, Na, gegara kamu, sih," rengek Mio. Tangan Mio berusaha menghapus air mata yang mengalir di kedua pipinya.
Danah tertawa, air matanya sudah berhenti mengalir. Ia melepaskan pelukannya dari Mio. "Udah, Mi, I'm insya Allah good now," ujarnya.
Mio ikut tersenyum. Tangannya mencoba membersihkan maskaranya yang sudah luntur di kedua pipinya. "Na, aku tahu, kok, kamu kuat. Cuman, nih, ya, aku juga mau kamu tahu kalo mendem semuanya sendiri itu enggak baik," ucapnya. Mio menatap manik cokelat kehitaman Danah yang masih berair, merah karena tangisannya.
Danah tahu Mio pasti sangat khawatir padanya. Danah merasa sedikit bersalah karena tidak pernah belajar untuk lebih terbuka dengan orang-orang di sekitarnya. Berat. Susah. Rumit. Tidak pernah terlintas dalam benak Danah untuk membebani orang lain dengan masalahnya. Di dalam pikirannya selalu terbentuk pola pikir bahwa orang-orang yang ia temui tidak mungkin akan selalu ada untuknya. Danah mengerti bahwa Mio peduli padanya. Namun, tidak secepat itu ia bisa membuka seluk-beluk setiap masalah yang ia hadapi. Untuk sekarang, Danah akan mengingat nasihat sahabatnya itu.
Danah mengangguk pelan. "Makasih, ya, Mi," ujarnya seraya mengelap air mata itu, "aku beruntung banget punya kamu, Mi." Danah kembali memeluk Mio.
Air mata Mio kembali mengalir membasahi pipinya. Ia merengek pelan. "Ih, Na, tuh, kan, jadi sedih lagi."
Tawa Danah kembali bergema di masjid itu. Beberapa akhwat di dalam sana memandang mereka sesekali, tetapi tidak dihiraukan oleh Danah dan Mio. Memang mereka berdua ini terkadang tidak tahu malu. Tangan Danah melepas pelukannya dari Mio.
"Eh, Mi, aku baru nyadar, deh. Itu ponsel kamu bunyi mulu dari tadi," ucap Danah sambil menunjuk tas Mio.
Mio mengangguk. "Oh, iya, getar dari tadi, Na. Bentar, aku cek dulu," ujarnya. Tangannya meraih ponsel di dalam tas.
Jari-jari Danah sibuk mengelap wajahnya, menghapus sisa-sisa air matanya. Mio mengecek pesan-pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Matanya membelalak. Mio menepuk-nepuk pundak Danah.
"Na, ini aku barusan dapet kabar dari Sania. She said Arga pukul-pukulan sama Zachry. Aduh, kenapa ya, Na?" tanyanya seraya memajukan bibirnya. Mio kembali melihat layar ponselnya, jari-jarinya mengetik di sana. Gadis itu mencoba mencari tahu informasi lebih dalam pada Sania.
Danah mengerutkan alisnya. Ia melupakan fakta bahwa sebelumnya, Arga datang menengahi ia dan Zachry. Seketika, perasaan tidak enak hati merayap dalam diri Danah. Seharusnya, Arga tidak ikut terlibat dalam konflik internal kelompoknya. Danah menelan ludahnya.
"Te-terus gimana, Mi?" tanyanya terbata-bata pada Mio.
"Kata Sania mereka tuh konflik gara-gara Cecil. Bukan salah kamu, Na, udah, yuk, jangan dipikirin," ucap Mio sambil menggelengkan pelan kepalanya.
Danah ingin bertanya lebih lanjut, tetapi Mio kembali berbicara. Ia mendongak dari ponsel, pandangannya tertuju pada Danah. Ia berkata, "Na, aman. Ini udah diurus sama Daris, tadi, anak-anak cowok lain pada misahin juga. Gita barusan nge-chat aku, katanya si Arga cuman lecet di rahang aja. Zachry lebih parah, sih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dahlia
Teen Fiction"Permisi, Mba, tahu jalan ke kafenya, enggak?" Laki-laki itu bertanya kepada Danah. Ia menyeringai. Jalan ke kafe katanya? Danah mengangkat satu alisnya. "Lah, ke situ, kan, Mas?" Danah bertanya balik dan menunjuk kafe yang tidak lebih dari empat...