Part Seven

146 46 30
                                    

"Long time no see, Miss Sensitive," tegurnya.

Liam meraih rokok elektrik yang dikalungkannya, menempel benda itu pada mulutnya, mengisap perlahan dan dalam zat yang terkandung di dalamnya. Ia melepas benda itu, mengembuskan asapnya tepat pada wajah Danah. Aroma intens semakin tercium oleh hidung gadis itu.

Danah mengernyit. Karena asap yang banyak, pernapasannya terganggu.

"Uhuk, uhuk!"

Danah terbatuk-batuk, tangannya ia gunakan untuk mengipas-ipas asap yang keluar dari benda itu. Dalam hati, ia beristigfar. Saat itu juga, hal yang terlintas dalam benaknya, jika Danah adalah seorang laki-laki, ia bisa pastikan tangannya akan melayangkan tinju ke rahang laki-laki di hadapannya itu.

Liam masih tersenyum, terhibur dengan tingkah gadis berjilbab cokelat itu. Danah berdeham. Berani-beraninya laki-laki ini mengembuskan asap tepat di depan wajahnya. Tampaknya, akhir-akhir ini, Danah sedang tidak memiliki keberuntungan. Allah SWT pasti sedang mengujinya, mengetes kesabaran hamba-Nya. Kemarin, bertemu Naos. Hari ini, Liam. Danah benar-benar tidak memiliki ketertarikan sedikit pun pada laki-laki yang telah bertaruh untuk menggodanya itu. Tatapan mencolok Danah ia tujukan pada laki-laki di sofa itu.

"Aku punya nama," ujar Danah dengan ketus. 

Liam berhenti tersenyum. Dengan tatapan datarnya, kedua manik hitam legam itu memandang Danah. "Gue tahu," balas Liam. 

Danah memutar bola matanya. Ya, kalau tahu, kenapa terus-terusan melabel Danah dengan julukan pemberiannya itu? Danah mendengus sebal.

Pandangannya menyadari bahwa di sebelah Liam, di atas sofa itu, terdapat buku Mata Kuliah Dinamika Teknik. Ia heran mengapa Liam memilih untuk mengisap zat beracun ketika nyatanya, ia bisa membaca segudang ilmu itu. Danah tidak telalu memusingkan orang yang merokok atau tidak merokok. Baginya, itu hanya suatu preferensi. Selagi tidak merugikan orang-orang di sekitarnya, ya, boleh-boleh saja, seperti di tempat-tempat yang tersedia khusus untuk merokok. Jika tidak berada di tempat yang seharusnya maka perbuatan itu adalah suatu pelanggaran. Danah tahu beberapa jendela di perpustakaan ini terbuka meski memakai pendingin ruangan, tetapi memang ada orang bodoh yang memilih untuk merokok di sini? Danah kembali menatap Liam, menyipitkan matanya.

"Ini di perpustakaan, kamu seharusnya enggak merokok," tegasnya. 

"Ini vape," ujar Liam. 

"Sama aja. Berhenti atau keluar dari ruangan ini," gertak Danah. 

Alih-alih menyimak, Liam malah menghirup benda itu lagi. Sekali lagi, asap yang beraroma itu menerpa wajah Danah. 

"Uhuk, uhuk!"

Danah terbatuk untuk kedua kalinya. Kibas-kibasan dari tangannya membantu menghilangkan asap itu dari wajahnya. Urat-urat di dahi gadis itu mulai menonjol. Laki-laki di hadapannya ini memang tidak tahu diri. 

Liam menyeringai. "Gue cabut," ujarnya seraya beranjak dari sofa. Tubuh tingginya berjalan melewati Danah. 

Danah membalikkan tubuhnya, menatap Liam yang berjalan, membelakanginya. Danah menghela napas. Rasa kesal itu masih ada dalam dirinya, tetapi setidaknya, Liam sudah tidak berada di dalam ruangan ini lagi. Kaki Danah kembali melangkah ke arah meja kursi tadi yang ia duduki. Danah mengambil buku yang ia tinggalkan sebelumnya. Tangannya menggenggam buku itu, berniat meminjamnya. Azan Zuhur dari masjid kampus berkumandangan, terdengar melalui telinga gadis itu. Sebenarnya, Danah ingin berlama-lama di sini, mencari buku dalam tumpukkan rak. Namun, ia tahu bahwa panggilan untuk melaksanakan salat itu nomor satu. Danah berpikir bahwa ia bisa saja ke perpustakaan lagi di lain waktu. 

DahliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang