"Hi, Miss Sensitive," ujarnya sambil menyeringai.
Danah mengerutkan kedua alisnya. Ia memalingkan wajahnya, tidak mau berlama-lama bertatapan mata dengan laki-laki itu. Samar-samar, Danah bisa mencium aroma asap rokok dari belakangnya. Kemungkinan dari pakaian Liam.
Liam melangkah maju melewati kursi Danah. Raut wajahnya kembali datar. Ia menggerakkan tangan kekarnya itu, menarik kursi, dan menaruhnya di sebelah Vera. Rona merah muncul di kedua pipi Vera. Ia mencuri-curi pandangan ke arah Liam yang memilih untuk duduk di sampingnya.
"Ke mane aje lo, Bang?" tanya Naos yang memecah keheningan.
Hani menutup mulutnya kembali. Ia berdeham dan berkata, "Tahu, nih, ke mana lo? Tadi bilangnya mau ke toilet, kok, lama?" Gadis berambut pirang sebahu itu menyipitkan matanya.
Raka terkekeh. "We're talking about Liam here, enggak mungkin banget cuman ke toilet doang," katanya sambil menyengir, memunculkan gigi-giginya yang tersusun rapih dengan kawat di depannya.
"Nyebat gue," jawab Liam dengan tatapan datarnya.
Benar saja, aroma asap rokok itu datang dari Liam. Dari awal Danah mengarahkan pandangannya pada Liam, ia sudah punya gambaran kasar mengenai laki-laki itu. Danah mencoba menahan diri untuk tidak berprasangka buruk padanya, tetapi ia sendiri tidak pernah memiliki pengalaman yang baik dengan laki-laki yang ditemuinya. Bagaimana bisa Danah mempercayainya ketika sosok laki-laki pertama dalam hidupnya malah meninggalkan dan mengecewakannya.
Danah bisa merasakan tatapan Mio padanya yang seolah-olah dapat menusuk masuk dan membuat lubang di wajahnya. Danah yakin Mio pasti ingin sekali bertanya mengenai pertanyaan Naos barusan, tetapi mau sepenasaran apapun sahabatnya itu, Mio tidak akan pernah melewati batasan yang dibangun oleh Danah. Alih-alih menatap Mio balik, Danah malah lebih khawatir dengan perutnya yang terasa nyeri. Aroma pastry dan beberapa hidangan nasi di kafe ini membangkitkan selera makannya. Ia sungguh perlu mengisi perutnya. Suara bising dari keramaian di kafe ini telah menguras energinya. Manik cokelat kehitaman Danah mencari-cari keberadaan pelayan kafe yang bisa ia panggil untuk membawakan menu. Danah berencana untuk memesan makanan berat.
"Anyway, gimana ceritanya lo gagal godain Danah?" Hani bertanya sambil memainkan sedotan di gelas yang berisi jus jeruknya.
Samuel menyentikkan jarinya. "Nah, itu. Ceritain dulu coba."
Danah langsung melupakan rasa laparnya. Ia menelan ludah. Rasanya jantung Danah langsung jatuh ke lambungnya. Mio akhirnya berpaling dari Danah, pandangannya berpindah ke Haikal yang sedang mengelap mulutnya. Tenggorokannya sakit karena tersedak nasi goreng tadi.
"Lo tahu tentang ini, Kal?" bisik Mio pada Haikal.
Haikal menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu. Ia hanya mengangguk pelan.
Liam mengangkat satu alisnya. "Danah?" tanyanya.
Danah reflek memanyunkan bibirnya sedikit. Laki-laki beranting hitam itu tidak mengingat namanya. Memang iya, mereka tidak berkenalan, tetapi tadi Haikal sempat menyebut namanya dan tidak mungkin Haikal tidak membicarakan Danah di belakangnya saat ia dan Liam memutuskan untuk bertaruh.
"Ini, lho, her name is Danah, Liam," ujar Vera seraya menunjuk Danah sekilas. Ia menyunggingkan bibirnya. Matanya menatap Liam seolah-olah ia adalah seorang pangeran yang dipuja-puja dari negeri kayangan.
Liam menatap Danah sebentar. Lalu memalingkan wajahnya. Liam hanya diam, tidak mengutarakan sepatah kata pun. Ia meraih kantong jeans-nya. Dengan tatapan malas, ia mengeluarkan ponselnya, memfokuskan pandangannya pada layar benda itu. Jari-jarinya mengetik sesuatu di sana. Entah dengan siapa ia kirim-mengirim pesan. Danah tidak peduli. Jika Liam memilih untuk tidak menghiraukan keberadaannya, Danah akan melakukan hal yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dahlia
Teen Fiction"Permisi, Mba, tahu jalan ke kafenya, enggak?" Laki-laki itu bertanya kepada Danah. Ia menyeringai. Jalan ke kafe katanya? Danah mengangkat satu alisnya. "Lah, ke situ, kan, Mas?" Danah bertanya balik dan menunjuk kafe yang tidak lebih dari empat...