Tok! Tok! Tok!
Ketukan pintu yang keras dari depan rumah membuat tubuh Katya sedikit terhentak di sofa. Jari-jarinya membesarkan volume dari televisi di hadapannya. Putri bungsunya sedang keluar membeli sejumlah obat di apotek dekat kompleks rumahnya. Tubuh Katya gemetar. Ia sudah biasa ditinggal sendirian, tetapi hari ini, ia tidak mengekspektasikan kehadiran siapa-siapa.
Siapa yang datang ke rumahnya? Suara ketukan pintu terdengar lebih keras. Perempuan paruh baya berdarah Rusia itu buru-buru beranjak dari sofa. Tangannya meraih jilbab putih panjang yang tergeletak di atas meja. Katya mengenakan jilbab. Kakinya berjalan perlahan-lahan ke arah pintu. Pandangannya sekilas jatuh pada sapu merah dekat pintu kamar. Ia memberhentikan langkahnya sejenak. Katya mengambil sapu itu, memutuskan untuk berjaga-jaga.
Ia berjalan ke depan pintu. Perempuan itu mengintip dari jendela rumahnya terlebih dahulu. Laki-laki muda berambut hitam, tinggi, beransel, dan berpakaian serba hitam. Katya menghela napas. Ia melepas sapu merah itu. Rasa ketakutannya itu sekejap hilang. Dengan gesit, ia membuka pintu rumahnya.
"Vaoo (Wow)! Abang, ih, enggak bilang ke Ibu kalo mau dateng," tegurnya seraya tersenyum pada anak laki-lakinya. Tangan Katya menepuk bahu Liam.
Suaranya dengan aksen Rusia yang lumayan kental itu menyapa telinga Liam. Napas laki-laki itu terengah-engah. Ia mengernyit. Bukankah Ibu seharusnya dalam keadaan drop sekarang?
Di hadapan Liam, perempuan paruh baya berjilbab putih panjang dengan kulit kuning langsat, hidung mancung, dan manik cokelat, Katya Alyona. Ibu kandung dari tiga bersaudara di keluarga Rasendriya. Ibu memeluk tubuh tinggi nan kekar anak laki-lakinya itu.
"Assalamualaikum-nya mana, Bang?" tanyanya seraya tersenyum tipis.
Liam menghela napas. Di dalam kepalanya, ia heran mengapa ia bergegas pulang ke Bekasi hanya untuk disambut dengan Ibu yang terlihat seolah-seolah tidak baru saja membuatnya khawatir setengah mati. Tangan Liam memeluk Ibu kembali.
"Assalamualaikum, Bu," ujarnya.
Ibu terkekeh. Ia melepaskan pelukan. "Waalaikumsalam, Bang. Tiba-tiba banget, Liana pasti nge-chat kamu, ya, Bang?"
Liam mengangguk. "Liana bilang Ibu nge-drop. Why aren't you taking a rest now?" tanyanya pada Ibu yang sekarang menyengir.
Katya mempersilakan anak laki-lakinya masuk ke dalam rumah. Ia mengunci pintu. Tubuhnya ia hadapkan pada Liam. "Ibu? Drop? Nyet (tidak). Si Adek itu memang berlebihan," ujarnya seraya berdecak. Tangannya ia lambaikan sejenak, memberi gestur pada Liam untuk tidak menghiraukan kondisinya.
Liam menaikkan satu alisnya, selalu bingung dengan sikap Ibu yang terlalu santai. Perempuan paruh baya itu berjalan melewati Liam, membuka jilbab putihnya. Jari-jarinya merapikan rambut cokelat pendek sebahunya.
Liam berjalan mengikuti Ibu. "Are you sure you're good?" tanyanya memastikan.
Ibu membaringkan tubuhnya di sofa. "Iya, Bang. Good, insya Allah," timpalnya.
Manik hitam Liam memandang sekitarnya. Rumah sepi. Ia tidak bisa menemukan tanda-tanda kehadiran laki-laki itu. Liam membuka bibirnya, hendak bertanya pada Ibu.
Namun, tanpa melihat Liam, perempuan yang telah melahirkannya ke dunia itu lebih dulu berkata, "Ayah lagi enggak ada di rumah, Bang. Ibu udah sendiri semingguan ini. Ayah lagi di Jerman, biasa, ada urusan katanya."
Liam mengeraskan rahangnya. Ia terdiam. Selalu. Selalu tidak pernah ada untuk Ibu. Apa yang sebenarnya ada di kepala laki-laki tua itu? Terkadang, Liam berharap ia dapat menukar kondisi Ibu dan Ayah. Biar saja laki-laki itu yang mengidap kanker paru. Liam tidak peduli. Memang, tidak berguna. Tidak ada lagi rasa yang tersisa untuk laki-laki yang dahulu kala sering bermain dengannya. Kenapa tidak berpisah saja jika keadaan tidak kunjung berubah? Liam heran mengapa perempuan paruh baya di hadapannya memilih untuk mempertahankan pernikahan ini dengan arsitek itu ketika cinta yang mereka miliki memudar. Dari dalam lubuk hati Liam yang paling dalam, ia tahu bahwa Liana dan Mba Liria pasti tidak akan keberatan jika mereka berpisah, so what in the world is holding her back?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dahlia
Teen Fiction"Permisi, Mba, tahu jalan ke kafenya, enggak?" Laki-laki itu bertanya kepada Danah. Ia menyeringai. Jalan ke kafe katanya? Danah mengangkat satu alisnya. "Lah, ke situ, kan, Mas?" Danah bertanya balik dan menunjuk kafe yang tidak lebih dari empat...