Dua bulan lamanya. Sudah dua bulan semenjak Danah ditunjuk menjadi Kadiv Media, menggantikan Amar. Rasanya ia ingin berhenti dari kepanitiaan Go Rohisian sekarang juga. Endah, Wakadiv Media, sangat jarang datang ke rapat. Alhasil, Danah kesulitan dalam menghubungi anggota-anggota Divisi Media lainnya. Entah siapa yang merekomendasikan Endah sebagai penggantinya, tetapi yang jelas, Danah tahu gadis itu tidak memiliki keahlian yang baik karena desainnya terkadang, kurang menarik, berlebihan, dan tidak jelas dalam menyoroti beberapa poin. Danah menghela napas. Ia menyedot sedotan di gelas es teh manisnya. Pagi hari, setelah kelas Sir Pata, di kantin FISIP ini, Danah luangkan waktu untuk merenungkan masalah-masalah yang sedang ia hadapi sebagai Ketua Divisi.
"Na, ada apa, sih?"
Pertanyaan Mio membuyarkan pikiran Danah. Gadis berambut cokelat pendek itu datang membawa nampan yang berisikan nasi goreng. Danah menggeleng pelan, ia menjawab, "Enggak apa-apa, Mi. Just ... you know, a bit struggling di kepanitiaan acara FR tahun ini."
Mio duduk di sebelah Danah. Ia mengambil sendok dan garpu, mulai menyendok nasi gorengnya. "Hmmm, coba cerita, Na. Susah di mananya?" tanyanya seraya menyantap sarapannya itu.
Danah ingin menceritakan kesulitannya pada Mio, tetapi, lagi-lagi, ia merasa tidak layak untuk didengar. Ia merasa tidak bisa membagikan kisahnya pada siapa pun. Ia merasa tidak bisa mengeluarkan suaranya. Danah berdeham. "Udah lah, Mi. Gampang itu, mah. Anyway, kamu kemaren jalan sama Samuel, kan?" tanyanya balik pada Mio, mencoba mengalihkan perhatian.
Mio menautkan kedua alisnya, ingin sekali rasanya ia membujuk gadis itu untuk bercerita padanya, tetapi ia tahu Danah tidak mungkin bisa dipaksa untuk terbuka. Mio menghela napas. "Iya, Na. Kemaren, aku jalan lagi sama Samuel. Kita ke kafe gitu, nugas bareng. Lucu, deh, aku jadi tahu mata kuliah anak Teknik Mesin," ujarnya seraya tertawa kecil.
Danah mengangguk, menyeruput es teh manisnya lagi. Tadi pagi, Danah sudah diajak sarapan dengan Mama. Ia merasa tidak lapar maka ia memutuskan untuk memesan satu es teh manis saja. "Oh, ya? Kafe mana tuh, Mi?" tanyanya.
"I think nama kafenya itu Harapan Berkah, deh," jawab Mio, "kita ke sana, ya, Na, nanti, sebelum UAS gitu." Mio tersenyum pada Danah.
"Iya, Mi, boleh banget," balas Danah lalu ia kembali menyeruput es teh manisnya.
Ting!
Ponsel Danah berbunyi. Notifikasi muncul di layar benda itu. Tangan Danah meraih ponselnya, mengecek pesan yang masuk dari anggota divisinya dengan nama kontak "Sari FR". Hari ini akan ada rapat jam dua siang. Danah sudah menginformasikan hal tersebut pada anggota divisinya, tetapi yang membalas pesannya memang hanya sedikit. Tanpa perlu membaca pesan dari Sari, Danah tahu adik tingkatnya itu pasti meminta izin padanya untuk tidak ikut rapat. Entah alasan apa lagi yang ia pakai kali ini. Danah menghela napas, ia akhirnya membaca pesan itu.
Sari FR: "Assalamualaikum, Kak. Maaf banget hari ini Sari enggak bisa ikut rapat karena mau ada rapat himpunan, Kak."
Danah menyipitkan matanya. Sama seperti Amar, Sari juga dari Jurusan Administrasi Bisnis. Danah heran mengapa ada orang yang sudah tahu sibuk dengan himpunan, tetapi malah memilih mengikuti kepanitiaan untuk penyelenggaraan acara tahunan organisasi. Danah mulai berpikir apakah seharusnya ia batalkan saja rapat hari ini? Mungkin akan lebih baik jika ia berkomunikasi dengan Presi terlebih dahulu terkait Wakadiv dan anggota-anggota divisinya yang jarang sekali aktif dan inisiatif.
"Na? Kenapa, sih?" tanya Mio untuk kedua kalinya, mencoba membuat Danah bercerita.
Danah mendongak dari ponselnya, menatap Mio. "Enggak, Mi, it's fine. Aku mau pulang duluan, deh, Mi. Kamu di sini sampai jam berapa?" tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dahlia
Teen Fiction"Permisi, Mba, tahu jalan ke kafenya, enggak?" Laki-laki itu bertanya kepada Danah. Ia menyeringai. Jalan ke kafe katanya? Danah mengangkat satu alisnya. "Lah, ke situ, kan, Mas?" Danah bertanya balik dan menunjuk kafe yang tidak lebih dari empat...