Udara dingin dari air conditioner di ruang A 3.3 membuat tubuh Danah sedikit menggigil. Suara bising dari sekitar Danah membuatnya ingin cepat pulang. Pagi ini, Pak Johan mengabari angkatan Danah untuk melaksankan kuis di kampus. Beruntung, Danah sudah menghapal dan memahami teori-teori di buku catatannya semalaman. Ya, meskipun ia hanya tertidur selama dua jam, tetapi setidaknya, ia yakin akan bisa mengerjakan soal-soal pemberian dosennya dengan lancar. Mio duduk di sebelah Danah, menepuk pundaknya pelan.
"Lama banget, sih, Na, Pak Johan. Udah kita disuruh dateng pagi jam tujuh, eh, sampe sini malah beliau telat," keluh Mio.
"Iya, paling bentar lagi, Mi. Tadi beliau ngabarin di grup. Lagi di jalan, kan, katanya?" tanya Danah.
Mio berdecak kesal. "Na, sumpah, ya, itu dosen kalo bilang lagi di jalan, datengnya tuh bisa setengah jam kemudian, bahkan bisa aja batalin ini kelas. Mana aku udah begadang belajar semaleman lagi," timpal Mio.
Danah hanya tersenyum pasrah mendengar unek-unek sahabatnya itu. Danah mengecek ponselnya, melihat jam. Memang benar apa kata Mio, sekarang sudah jam tujuh lewat dua puluh dua menit. Dosennya yang satu ini memang gemar membuat mahasiswanya ketar-ketir. Suara pintu kelas tergeser terdengar di telinga Danah, membuat ia dan mahasiswa lainnya mengarahkan pandangan pada sosok yang baru saja memasuki kelas. Bukan, bukan Pak Johan. Gita, teman seangkatan Danah yang selalu sibuk bukan main karena kehidupan perkuliahannya diisi dengan kepanitian, melangkah masuk ke dalam kelas. Rambut hitam acak-acakan sepunggungnya itu menandakan bahwa ia buru-buru dari indekos demi ikut kelas Pak Johan.
"Git, sini aja," seru Mio seraya menepuk-nepuk kursi kosong di sebelahnya.
Mata Gita menemukan Mio dan Danah, ia mengangguk ke arah mereka. Tubuhnya berjalan mendekati dua temannya itu dan duduk di sebelah Mio.
"Ngapa telat lu?" tanya Mio pada Gita yang sedang merapikan rambutnya bagai surai lebat singa yang habis diterpa angin.
"Iya, nih, telat gue, woi. Semalem ada rapat bareng anak BEM. Hidup gue ini emang kalo enggak kepanitiaan, ya, nugas," jawabnya seraya memanyunkan bibir.
Mio tertawa kecil mendengar keluhan Gita. "Enggak papa kali, Git. Lagian juga si Pak Johan belom dateng-dateng dari tadi, ya, kan, Na?"
Danah mengangguk pelan. "Iya, Git. Ini buktinya kamu masih bisa masuk ke kelas beliau. Biasanya, kan, enggak ada toleransi," ujar Danah sambil menunjukkan jam di ponselnya itu.
"Ya, kan? Perasaan, ini dosen satu ada aje kerjaanya, palingan juga enggak bakal masuk, lho," geram Gita.
Danah hendak membantah pernyataannya karena memang benar bahwasannya Pak Johan kerap datang terlambat, tetapi beliau tidak pernah membatalkan kuis yang akan diadakannya. Sebelum Danah dapat berbicara, pintu kelas tergeser lagi. Derap langkah seseorang memasuki ruangan itu. Pak Johan dengan kemeja biru dan tas selempangnya berdiri di depan kelas.
"Pagi, mohon maaf, ya, saya agak telat sedikit. Makasih, lho, rekan-rekan udah pada nungguin," ujarnya sambil tersenyum seolah-olah ia tidak baru saja membuat panik para mahasiswa di kelas ini.
Beberapa mahasiwa menjawab salam dosen yang berumur empat puluhan itu.
"Oh, ya, hari ini kuis, ya," kata Pak Johan dengan tatapan tidak berdosanya. Ia mengeluarkan sejumlah kertas dari dalam tas dan meletakkannya di atas meja.
"Sania, ini tolong kamu bagikan kertas-kertasnya," pintanya pada Sania selaku PJ mata kuliah ini.
Gadis berpasmina merah muda itu beranjak dari kursinya dan menghampiri meja Pak Johan, mengambil tumpukan kertas itu. Tubuhnya mulai berjalan di sekitar kelas, membagikan kertas itu satu-per satu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dahlia
Teen Fiction"Permisi, Mba, tahu jalan ke kafenya, enggak?" Laki-laki itu bertanya kepada Danah. Ia menyeringai. Jalan ke kafe katanya? Danah mengangkat satu alisnya. "Lah, ke situ, kan, Mas?" Danah bertanya balik dan menunjuk kafe yang tidak lebih dari empat...