Part One

332 89 44
                                    

"Gimana?" Danah bertanya dengan tatapan kesalnya itu. Rasanya ia sungguh ingin memusnahkan laki-laki di hadapannya ini.

Laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke Danah. Tubuh tingginya sedikit menunduk agar bisa melihat Danah lebih jelas. Tidak terlalu dekat, tetapi tidak juga jauh. "Ya, kan, gue udah bilang tadi. Kalo jalan ke hati lo, gimana? Tahu, enggak?" Ia tersenyum. Oke, bagi cewek-cewek yang berada di sekitar kafe ini, mungkin menganggap bahwa laki-laki di hadapan Danah adalah cowok paling tampan bak pangeran yang mereka pernah temui. Namun, tidak bagi Danah. Sekarang juga, ia ingin muntah.

Danah sontak menganga. Masih tidak percaya bahwa laki-laki ini mampu mengatakan kalimat itu dua kali. Ia menutup bibirnya kembali.

Wah, gila, ya. Astagfirullah. Danah tidak habis pikir.

Sebelum ia membuka bibirnya untuk menjawab, laki-laki di hadapannya ini mundur selangkah dari Danah. Ia berdecak. Tangan dengan urat yang menonjol itu mengacak-acak rambut hitamnya. Ia membuang muka, terlihat kesal dengan Danah. Ia mengeraskan rahangnya. Kemudian, ia mengarahkan wajahnya lagi ke Danah, memandang Danah dengan tatapan datar. Dua manik hitam yang tajam itu kembali bertemu dengan dua manik cokelat kehitaman milik Danah.

"Ah, kelamaan lo. Pake acara bingung segala. Mana enggak blushing sama sekali. Gagal udah," katanya dengan nada mengejek.

HAH?

Danah seperti melihat dua orang yang berbeda. Gaya bicara dan ekspresi laki-laki di hadapannya ini berubah drastis. Seolah-olah ia telah membuka topeng yang digunakan sebelumnya.

"Bentar, kenapa jadi aku yang salah?" Danah memelototi laki-laki itu.

Sebelum laki-laki itu menjawab, seorang laki-laki lain datang dan merangkul pundaknya. "Tuh, kan, gue bilang juga apa, Am. Ga mungkin banget lo bisa ngegodain cewek modelan gini," kata laki-laki berkacamata yang merangkul bahu laki-laki yang dipanggil "Am" itu.

"Tch, rese lo. Lagian juga, kenapa si Haikal matok dua ratus ribu, sih?" Ia berdecak kesal dan mengerutkan alisnya. "Ya, gue enggak rugi, tapi jadinya menang, kan, tuh anak."

Laki-laki berkacamata itu tertawa mendengar keluhan teman laki-lakinya. Danah mencoba mencerna kalimat kedua laki-laki di hadapannya ini. Seketika Danah langsung terdiam. Ia sadar apa yang telah dilakukan laki-laki ini tadi.

Danah menatap sinis ke arah laki-laki yang dipanggil "Am" itu. Tanpa disadari, ia maju selangkah ke depan. Napasnya memburu. "Kamu taruhan dengan Haikal untuk menggodaku? Astagfirullahaladzim, enggak ada kerjaan banget, ya." Kalimat yang dikeluarkan dari mulut Danah terdengar sangat ketus. Ia kesal dengan laki-laki di hadapannya ini, merasa telah dipermainkan. Jantungnya berdegup dengan kencang. Rona kemerahan muncul di kedua pipinya. Tubuhnya gemetar, ia mencoba sabar dalam menghadapi laki-laki ini.

Sebelum laki-laki itu menjawab, laki-laki dengan rambut hitam sebahu yang dikuncir kuda berjalan menghampiri mereka. Haikal datang tiba-tiba, berdiri di antara Danah dan laki-laki itu, menengahi keduanya. "Eh, bentar, bentar, sorry, Na. Temen gue ini emang berengsek orangnya, gue juga minta maaf, ya, Na," kata Haikal dengan tatapan bersalah. "Am, ayo minta maaf," ia menyikut temannya.

"Ngapain minta maaf? Gue enggak salah apa-apa, lho," kata laki-laki itu. Dengan santainya, ia melipat tangan kekarnya di dada.

"Udah lah, turunin ego lo. Minta maaf, Liam," sekali lagi, Haikal menegur temannya.

Oh, Liam, toh, namanya.

Liam memutar bola matanya. Ia menatap Danah. Ia mengamati Danah dari atas sampai bawah. Jilbab hitam, kulit kuning langsat, pendek, mata berbentuk almond, hidung mancung, bibir merah muda, baju putih panjang, rok hitam panjang, kaus kaki putih, sepatu hitam slip on, dan... oke, Liam akui, perempuan di hadapannya ini cantik meski ia sedang ditatap jutek.

DahliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang