Bab 10

514 13 0
                                    

10. Skatmat.

Di pagi Rabu ini, Alesya dikejutkan dengan suara Hazel di sebrang telefon. Dengan terisak-isak, adiknya itu mengatakan bahwa jidat serta lututnya terluka. Dan ingin di jemput pulang ke rumah.

Entah apa insiden yang telah terjadi. Yang pasti, ini melibatkan Bu Sopi. Guru bimbingan konseling Hazel. Ema sedang ada kerjaan di luar kota kemarin. Menggantikan posisi Ayahnya di lain tempat.

Razi tentu saja sibuk dengan hobbynya. Mengikuti event game online kesana kemari. Pulang dengan membawa uang yang ia mau. Makan, lalu tidur. Selanjutnya, selalu seperti itu selain melakukan kewajibannya sebagai calon mahasiswa.

Alesya sampai di sekolah Hazel tepat waktu. Ia segera menuju ruang kesehatan. Karena adiknya tengah di obati oleh palang merah remaja.

"Dek? Lo gapapa kan?" Alesya memegang seluruh wajah Hazel secara beruntun.

Hazel yang di perlakukan seperti itu, berusaha menepis. Dirinya malu, di tatap oleh Kakak kelasnya. "Diem, ish!"

Alesya mendengus tak terima. "Lo kenapa sih? Bisa jatoh kek gini. Heran." Tanyanya.

Hazel menekuk bibirnya ke bawah. Mengingat kejadian beberapa saat lalu, membuat harga dirinya seperti hilang di tiup angin.

"Ini semua gara-gara Zayyan!" Kedua tangan Hazel mengepal erat.

"Gue kayak gini, itu semua karena bocah bau rayap." Lanjutnya.

Alesya menatap heran adiknya. Lalu, menghela nafas lelah. Sudah menebak, Hazel bertengkar lagi dengan anak laki-laki yang kemarin. Ia paham, jika Hazel selalu iseng dan berakhir menangis jika di lawan.

"Gue kan niatnya baik mau bantuin dia nyapu lapangan karena di hukum. Eh, dia nya gamau. Ya gue paksalah. Kan niat gue baik, Kak." Hazel menampilkan puppy eyesnya pada Alesya.

"Tiba-tiba, sapunya patah karena gue sama dia saling narik. Trus, ketauan sama guru kesiswaan. Akhirnya, gue di tuduh. Gue gak terima dong! Gue tarik aja rambut kudanya itu sampe dia kesakitan. Habis itu, gue kabur trus gue jatoh."

"Skatmat lo, Zel. Mampus! Mampus lo mampus!" Alesya merutukki perbuatan Hazel berkali-kali. Ia sangat heran, bagaimana bisa jalan pikiran Hazel sependek itu.

"Lo mah gitu sama gue." Hazel meraung-raung seperti anak kecil yang tidak di beri makan satu tahun oleh Ibunya. Melupakan, bahwa masih ada banyak siswa dan siswi yang berada di ruang kesehatan. Menyaksikan tingkah aneh Hazel.

Sebelum Alesya benar-benar malu, ia menarik pergelangan tangan Hazel secara paksa. "Tambah sakit, sakit tu luka. Bodoamat gue. Ni anak minta di tusuk pake gunting kebon."

"Woi! Kak! Sakit! Tidaaak!!!"

***

Pukul sepuluh. Alesya dan Hazel sudah berada di ruang bimbingan konseling dengan hawa yang tidak mengenakkan. Keduanya menatap Bu Sopi merasa tak enak. Apalagi Alesya. Ia sudah berjanji untuk mengubah sikap adiknya. Tapi nihil. Mana sudah perjanjian pula. Haduh!

Bu Sopi memberikan satu buah surat berukuran A4 pada Alesya. "Kali ini saya akan memberikan peringatan yang pertama. Tolong di terima. Karena perjanjian kami sudah di langgar."

Alesya sedikit tertohok dengan ucapan Bu Sopi. Tapi mau bagaimana lagi. Ini sudah konsekuensi. "Baik Bu."

Setelah membaca lebih teliti lagi. Ternyata, Hazel di berikan skors selama tiga hari. Ia menatap ke arah adiknya yang menatap surat itu dengan keinginan tau-an.

"Habis lo sama Mama malam ini." Bisiknya.

Alesya tidak mendengarkan rengekan Hazel. Tatapannya kembali pada Bu Sopi. "Tapi bagaimana dengan kegiatan belajar nya, Bu?"

"Di setiap guru mata pelajaran akan memberikan tugas setelah Hazel selesai melaksanakan hukumannya."

"Maksudnya?"

"Selama tiga berturut-turut, Hazel tidak boleh keluar rumah. Untuk tugas, tidak akan di berikan jika Hazel tidak memenuhi hukumannya. Selama tiga hari itu, tugasnya akan di berikan setelah Hazel masuk di hari keempat."

"Jadi tugas saya makin banyak dong, Bu?" Tanya Hazel, tak percaya.

Alesya mencubit pinggang Hazel dengan kuat. Tidak lama kemudian, datang dua lelaki berbeda umur menghampiri Bu Sopi.

"Permisi Bu, maaf saya lambat datangnya. Tadi ada kena macet di jalan."

Alesya terdiam kaku setelah melihat kehadiran Raka secara tiba-tiba. Ada adiknya di samping kiri dengan seragam sekolah yang sama dengan Hazel. Apakah?

"Jadi ada apa dengan kasus adik saya kali ini, Bu?"

"Zayyan telat lima belas menit saat masuk sekolah tadi. Lalu, tidak menyelesaikan hukumannya dengan baik."

"Saya kayak gitu karena cewek centil ini, Bu."

Hazel yang merasa tertuduh berdiri tak terima. "Enak aja lo, niat gue baik ya! Harusnya lo terimakasih sama gue."

"Gue? Terimakasih sama lo? Mimpi."

Alesya tak sengaja bersitatap dengan Raka. Ia juga sama. Menatap bingung dengan tingkah adiknya yang sudah di luar batas.

"Kalo gak ada lo, hukuman gue aman. Dan gue gak akan masuk BK."

"Masih un--"

"Cukup!!!"

Keempat Kakak beradik itu tersentak kaget saat mendengar bentakan dari Bu Sopi.

"Zayyan! Jika kamu bersikap lebih tenang dalam menghadapi Hazel. Kejadian itu tidak akan terjadi. Dan, Hazel! Jika kamu tidak menganggu hukuman Zayyan. Kamu tidak akan terluka. Intinya, kalian sama-sama berbuat salah!"

Saat Alesya hendak membuka mulutnya, Bu Sopi kembali menyelah.

"Zayyan! Kamu saya hukum untuk bantu Pak Rasyid membereskan buku-buku yang sudah tidak layak pakai di perpustakaan saat pulang sekolah nanti."

"Gak bisa gitu dong Bu. Masa Hazel di hukum lebih berat dari dia?!"

Alesya menunjuk Zayyan, adiknya Raka dengan emosi yang tertahan. Bagaimana juga, Hazel adalah adiknya. Dan hukuman yang diberikan, sangat tidak sepadan.

"Wey! Maksudnya apa nih. Kok main nunjuk-nunjuk gitu. Santai dong!"

Bibir Alesya terbuka secara refleks. Tak percaya, bahwa Raka akan menekannya lewat ucapan. Tidak! Ini tidak bisa di biarkan!

Alesya menggulung kemeja panjangnya, bersiap untuk melawan Raka saat itu juga. "Apa lo bilang? Santai? Enak aja gue santai di saat hukuman adik gue gak sepadan sama adik lo!"

Raka memajukkan tubuhnya. "Lo gak denger kata Ibu itu bilang apa? Adik lo yang udah ganggu adik gue."

"BERHENTI!"

Semua yang ada di ruangan bimbingan konseling di buat membisu total. Tidak ada lagi yang berani membuka suara. Wajah Bu Sopi yang sudah tidak muda lagi itu memerah padam.

"Pergi kalian! Sudah tidak ada urusannya di sini. Kalo mau ribut, silahkan di luar ruangan. Saya tidak mau migran karena tingkah kalian semua."

Sebelum benar-benar pergi, Alesya menyempatkan membisikkan sesuatu pada telinga Raka.

"Urusan kita belum selesai."

***

Love You Ex! [ ON GOING ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang