6

145 26 18
                                        

Paginya mereka melanjutkan perjalanan menuju desa rabenda. Yah! Sedikit lagi bagi Hinata untuk melihat tanah kelahiranya. Entah mengapa jantungnya berdebar memikirkan hal itu. "Aku ingin mencari air disekitar sini untuk bekal kita nantinya." Ucap Obito. Lantas pemuda itu melangkah menjauh dari hutan.

"Ah, iya hati-hati Obito?!" Seru Hinata yang dibalas dengan gerakan tangan melambai dari belakang. Deidara yang berdiri tenang di dekat pohon hanya terdiam.

"Ada apa denganmu?" Tanyanya.

Hinata mendekat, tarikan lembut di pinggangnya membuatnya terhenyak.

"Ah, ada a-apa?" Ujarnya gugup.

"Aku ingin itu?" Menunjuk bibir Hinata. Dia mencerna apa yang di katakan Deidara segera dia paham. "Kau harus adil!" Serunya kesal.

Deidara segerap melumat bibir sang empu, bibir tipisnya melumat bibir Hinata yang candu.

"S-sudah..." Hinata menjauh dua langkah saat bibir mereka terlepas.

"Bibirmu sangat enak!" Serunya dengan senyum manis. Hinata hanya kikuk saat tersenyum. Dia memandang Hinata dalam menarik tangan sang empu, pemuda itu mengarahkan pada bibirnya dia mengecup telapak tangan Hinata lembut. "Hinata, apa kau belum bisa menerimaku. Mengapa kau terlihat canggung." Ujarnya.

"Tidak, aku sudah menerimamu Dei..." Deidara tersenyum manis mendengar ucapan Hinata.

Tak lama obito kembali dengan botol yang sudah penuh. Dia memandang keduanya. Dia mendengus saat melihat kedua bibir keduanya yang basah. Dia berdiri di depan Hinata mencuri satu kecupan.

"Ingat jangan pernah lupakan aku!" Ucapnya. Hinata mengangguk. Obito sangat cemburuan jadi dia hanya bisa mengalah.

Greemmhh

Suara geraman dari dalam hutan membuat ketiganya waspada. "Monster liar... " Bisik Obito. Hinata cukup tegang dia memandang mata Obito dalam.

"Kita kesana, jangan takut ada kami. Kau adalah hidup kami Hinata." Tegas Obito. Hinata terdiam memandang keduanya lantas senyum tipis terukir disana.

Ada mereka berdua ... Hinata.

Membawa Hinata dalam gendonganya. Segera mereka melesat menuju hutan semakin dalam. Semakin dalam hingga suara geraman itu seperti menghilang. Hutan yang remang dengan pohon-pohon yang menjulang menutupi langit, cahaya menerobos melalui celah dari dedaunan.

Derap langkah kaki yang menapak di tanah itu seketika berhenti saat melihat pemandangan, yang membuat ketiganya terhenyak.

Menurunkan Hinata dari gendongan, Hinata terdiam dengan mata yang bergetar menahan gejolak di hatinya setelah sekian lama dia pergi. Kini desanya seperti tanah kosong yang sepi. Bulir air mata tak dapat ia tahan.

Kaki mungilnya melangkah maju, dengan pelan dia mengedarkan pandangan hanya ada debu dan tanah rata, bekas kayu dari rumah-rumah yang hancur kini menyatu menjadi tanah. Hanya ada beberapa yang masih ada terlihat.

"Ayah, ibu..." Tangisnya tak dapat di bendung dia menangis tersedu-sedu memandang rabenda kini sudah punah.

Obito dan Deidara hanya memandang punggung mungil itu yang terlihat kuat namun ada kerapuhan disana.

Mereka masih disana hingga sore menjelang tidak ada yang mengusik sang empu dari kesedihan. Hinata terduduk di tanah dengan wajah kusut. Rintik gerimis mulai turun dengan perlahan membuat kedua pemuda itu khawatir dengan Hinata. "Kita buat tenda dengan benda yang tersisa." Deidara paham.

Selagi sang empu merenungi rasa sedihnya. Kedua pemuda itu lantas segera membuat tenda kecil dari bekas-bekas runtahan yang masih bisa di gunakan. Obito membawa Hinata dengan paksa masuk saat hujan tiba-tiba deras.

My Husband Is A Monster 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang