9

115 22 5
                                        


Kelopak mata itu terbuka menampilkan netra lavendernya yang cantik.

Hal pertama yang di lihatnya adalah atap yang sedikit terlihat lubang- lubang. Hinata mengerjapkan mata, hingga pandanganya menjadi jelas.

Deidara datang membawa mangkuk di tangannya dia terkesiap namun raut senang terlihat di wajahnya.

"Hinata! Akhirnya kau sudah sadar!" Cetusnya dengan senyum manisnya.

Dia mengecek dahi Hinata dan nadinya. "Kau tidak sadarkan diri selama tiga hari. Lalu kami menolongmu, tidak jauh dari sini terdapat desa yang tak terlihat." Deidara bercerita dengan semangat. "Kau tahu mereka adalah kaum naga, hm ... bisa di bilang ini seperti siluman." Lanjutnya.

Hinata masih diam, dia mencoba bicara namun tenggorokannya terasa sakit. Deidara dengan pelan membantu untuk duduk, dia dengan telaten menyendokkan air dengan pelan di mulutnya. Hinata menerima dengan patuh. Hinata memandang pemuda itu dengan intens membuat pemuda itu malu-malu.

Tiga hari aku tidak sadarkan diri. Sedikit menunduk dia memandang tangannya yang terluka sudah terbalut kain.

"Hn, dimana Obito?"

"Obito sedang di rumah sebelah. Dia sedang menjaga orang itu." Balasnya pelan.

"Orang itu?"

"Kau ingin melihat?" Hinata mengangguk untuk menjawab. Dengan lembut Deidara meletakkan kedua tangannya di punggung dan lipatan kaki Hinata, menggendongnya ala bridal. Mereka berdua keluar dari sana Hinata terpaku dengan tempat ini sederhana namun begitu indah.

Beberapa naga berterbangan di udara mengitari langit yang cerah. Setiap langkahnya di amati warga yang ada disana dia memandang sang gadis dengan tatapan takjub.

"Mengapa mereka melihatku seperti itu?" Ujarnya dengan bisikan pada Deidara.

Deidara tersenyum simpul. "Karena kau cantik dan harumu semerbak bunga Hinata." Balasnya pelan. Hinata mengeratkan lenganya di leher Deidara.

Hingga akhirnya mereka sampai pada rumah sederhana rumah mereka kebanyakan terbuat dari batu.

"Turunkan aku?" Pintanya pelan.

Sebelum masuk Hinata memilih untuk berjalan sendiri. Saat kakinya menapak tanah entah bagaimana suasana menjadi cerah. Bunga yang tadinya layu kini mekar, tumbuh-tumbuhan disana hidup kembali. Tidak hanya disana di tempat lain pun kini semuanya hidup pulih seperti semula. Tanpa alas kaki dia berjalan pelan diikuti Deidara di belakangnya.

Sampai di dalam dia melihat punggung yang membelakangi kini terbalut kain di tubuhnya. Rambut dengan surai pink dan hitam. Tubuh tegapnya dengan punggung lebarnya . Hingga kepala itu menoleh padanya langkah kakinya terhenti seketika. Dia terlihat terkesiap memandang Hinata.

"Hinata kau sudah bangun?" Suara Obito memecah keheningan.

"Hu'um," dia menoleh pada pemuda itu yang menatapnya intens. " Apa kau monster itu?"

Bola matanya bergerak dia terlihat gelisah. " Tenanglah?!" Ucapnya lembut. Dia menatap takut pada Hinata, namum mencoba memandang dengan tenang. "Siapa namamu?"

"Dia tidak bicara sama sekali hingga hari ini." Obito memberitahukan pada Hinata. Hinata mengangguk paham.

"Yang kulihat di matanya ada sebuah kenangan darinya. Kaum monster darinya dibantai habis. Bahkan aku melihat sepertinya dia seperti di buka segel secara paksa sejak kecil. Membuat dirinya tidak terkendali, bahkan lupa dengan bentuk aslinya." Ujarnya dengan jelas.

"Jadi ada orang lain di balik semua ini? Dia hanya di kambing hitamkan." Cetus Deidara tenang.

"Benar ... aku tidak tahu haruskah aku membencinya karena membunuh semua warga desa rabenda, namun dia juga sama terlukanya." Ia menghela nafas pelan.

My Husband Is A Monster 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang