happy reading!
Jinan terlihat sangat murung, makanan di depannya pun hanya dilihat tanpa disentuh sedikitpun, padahal ini salah satu makanan yang paling dia suka dan Gian memesankan menu set yang paling lengkap.
"Kok diliatin doang si, makan dong" tegur Gian.
Jinan bergeming, "Kan Adek cuma nemenin om makan doang, yauda sana om yang makan."
"Ngaco ya, maksudnya om tuh kamu juga makan."
Melihat Gian menatapnya tajam, Jinan bergerak memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya lalu mengunyahnya perlahan.
"Nih udah" kata Jinan sambil mendelik malas.
"Nah gitu dong!"
"Adek mau hadiah apa?" tanya Gian.
Jinan menggeleng pelan, "Gamau apa apa" jawabnya.
"Kok gitu? kan Adek ulang tahun, masa gak mau hadiah?"
"Gausah om."
Gian menghela nafasnya, dia semakin yakin ada yang salah dengan Jinan, anak itu sangat berbeda, selain kondisi fisiknya, tatapannya begitu kosong, nada bicaranya pun menjadi dingin.
"Adek sakit?" tanya Gian.
"Enggak."
"Terus kenapa gak makan? ini udah om pesenin khusus buat Adek"
"Aku udah bilang, aku gak laper, lagian kalau bukan om yang maksa aku juga gak akan mau kesini"
Gian tertegun, ada apa dengan keponakannya, sikapnya berubah 180°. Jauh sekali dari sifat Jinan yang Gian kenal.
Sebenarnya banyak hal yang ingin Gian tanyakan pada Jinan, namun sepertinya anak itu sedang tidak dalam kondisi baik, maka Gian mengurungkan niatnya untuk bertanya. Sepanjang makan mereka hanya diam, tak ada yang membuka pembicaraan diantara keduanya.
Setelah banyak bujukan dan paksaan, akhirnya Jinan makan juga, meskipun tak habis tapi setidaknya ada makanan yang masuk kedalam perutnya.
Setelah menyelesaikan acara makannya, Gian lantas mengantar Jinan pulang sebelum malam semakin larut, bahkan diperjalanan keduanya tetap diam sampai akhirnya mobil Gian berhenti di depan komplek.
"Yakin kamu turun disini?"
Jinan mengangguk mantap, lalu mulai merapikan barangnya yang tercecer di mobil omnya itu.
"Om anter aja ya? nanggung dikit doang" bujuk Gian lagi dan lagi.
"Gak usah, udah deket kok tinggal jalan aja"
Akhirnya Gian mengalah, melihat Jinan turun dari mobilnya dan perlahan mulai berjalan menjauh masuk ke dalam perumahan mewah itu.
Tak berselang lama, Gian langsung tancap gas saat punggung Jinan tak lagi terlihat, karena banyak hal yang harus Gian urus sekarang.
✨
Jinan berjalan pulang dengan langkah gontai, sejujurnya dia malas sekali pulang, atau mungkin sebenarnya takut? entahlah.
Sesampainya di depan rumah, Jinan mematung sempurna, kakinya tiba tiba terasa begitu lemas, bola matanya melihat mobil mewah Ayahnya terparkir rapi di garasi.
Tamatlah riwayatnya malam ini.
Dia tak bisa lari kemana-mana, meskipun dia lari Ayahnya pasti akan mengejar dirinya, dan mungkin hukuman yang diberikan akan lebih berlipat-lipat nantinya.
Tangan Jinan gemetaran, dia memegang kenop pintu, memikirkan harus membukanya pintu itu sekarang, atau memikirkan alasan apa yang akan meredakan kemarahan Ayahnya.