1 jinan & om gian

377 26 4
                                    

happy reading!!


'Adek..'

Bisikan lembut menyapa pendengaran Jinan, namun matanya terpejam seakan diberi lem agar tak bisa terbuka.
"Bun?" gumamnya.

Hening setelahnya, di dalam kegelapan dia merasa sesak entah karena apa.

'Jinan..' suara lirih terdengar lagi, lebih jelas dari sebelumnya tapi terasa sangat jauh.

Tak mungkin Jinan tak mengenal suara ini, suara yang lembut sebanding dengan parasnya yang cantik.

"Bunda!" pekik Jinan.

Jinan mulai menangis karena kesal matanya tak kunjung terbuka sedari tadi, hingga lama kelamaan matanya dapat terbuka dengan perlahan. Dia berharap sosok bundanya akan menghampiri dan memeluknya seperti sediakala.

"Bundaa!" panggil Jinan.

Saat matanya terbuka sepenuhnya yang terlihat oleh matanya hanyalah ruang putih yang tak berujung. Tidak ada Bunda, Ayah atau Kak Iko. Hanya Jinan disana, sendirian.

Sambil berlari Jinan mulai menangis lagi, dia ketakutan. Tersesat entah dimana, selalu dengan ketakutannya yaitu sendirian. Tak ada seorang pun yang datang menolongnya.

Kakinya terasa lelah karena terus berlari, tenggorokannya juga tercekat karena berteriak tanpa henti.

"Bunda.. ini adek!" suara Jinan terdengar sangat parau.

Sekali lagi, hatinya merasa hampa luar biasa.

"BUNDAAAA!!" teriaknya kencang sekali.

"Jinan!"

"Jinan bangun"

Jinan bergerak gusar dalam tidurnya, keringat dingin pun membanjiri dahi dan kaus hitam yang dipakainya.

"Adek bangun!"

Jinan terkesiap langsung terduduk kemudian mengusap wajahnya kasar.

"Mimpi apa?" tanya Gian sambil menyisir rambut Jinan yang lepek karena keringat.

Jinan menggeleng pelan.

"Om ngapain disini? Kok gak tidur?"

"Abis ngambil minum nih" Gian mengangkat gelas yang isinya sudah tandas setengahnya.

"Tapi kamu tadi nangis kenceng banget, kan om jadi khawatir, takut kamu kenapa kenapa" ucapnya.

Jinan mengusap tengkuknya pelan. "Maaf ya om, Jinan ganggu" ujarnya malu.

"Engga, udah tidur lagi ya. Besok kan sekolah"

"Iya om, Jinan tidur ya"

Jinan mulai berbaring lagi, perlahan dia menutup matanya mencoba terlelap kembali. Gian menarik selimutnya sampai menutup dada anak itu. Tak tahu bagaimana cara membicarakan tentang kondisi si bungsu pada ayahnya yang nampak sudah tak peduli lagi padanya.

Tak pernah sekalipun Gian tidak merasa sakit saat melihat Jinan tertidur dengan tidak nyaman. Dadanya naik turun tidak teratur, nafasnya juga terdengar berat dan sesak.

Dia mengusap pelan dada Jinan, dia tahu ini tidak banyak membantu, Gian hanya ingin memberikan ketenangan untuknya.

"Gian janji bakal jagain Jinan, Kak"




Hari ini, Senin pertama Jinan mulai bersekolah bukan sebagai seorang anak SMP melainkan anak berseragam putih abu.

Jinan berjalan mendekat ke meja makan dengan senyum yang merekah di bibirnya, walau sebenarnya Gian tahu senyum manis itu hanya untuk menutupi kegugupannya.

asa ; jinandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang