17 hari sial

110 10 12
                                    

happy reading!

Waktu berlalu begitu cepat, kini Jinan sedang sibuk belajar untuk ujian kenaikan kelasnya, seperti baru kemarin dia masuk ke sekolah ini, sekarang dia harus bergulat dengan buku-buku pelajaran dan tugas praktek yang tanpa henti.

Hubungan Jinan dan Om Gian masih terjalin baik meskipun kini mereka terpisah oleh jarak, sesekali Om Gian menyambangi Jinan di Jakarta.

Namun untungnya Jinan selalu sekelompok dengan Kavi, hanya satu tugas yang tak bersama.

Seperti saat ini, jam kosong pelajaran Bahasa Indonesia Jinan gunakan untuk membaca, dia mencatat kembali materi yang menurutnya penting, sedangkan Kavi disebelahnya sedang kalang kabut, lupa kalau hari ini ada pelajaran Geografi dan ada tugas, katanya sih bukunya tertinggal di rumah, jadi dia menyalin ulang secepat kilat.

Jinan hanya sesekali melirik ke arah Kavi yang selalu grasak-grusuk, kesana kemari meminjam pulpen, tip x dan alat tulis lainnya.

"Masih banyak, Vi?" Jinan berbasa-basi.

Kavi mengacungkan jari telunjuknya lalu meletakkannya di depan bibirnya, "Diem, jangan ajak gue ngomong" katanya, tapi pandangannya tak beralih sedikitpun dari buku dihadapannya.

Jinan bergedik acuh, Kavi sedang menyalin catatannya, teman-teman sekelasnya pun tahu kalau catatan Jinan paling rapi diantara murid laki-laki yang lain.

Kini Jinan pun sudah mulai bergaul dengan anak-anak lain, meskipun mereka yang mendekati Jinan lebih dulu, dia sudah tak tertutup dan menarik diri dari lingkungan kelasnya, syukurlah pertemanan Jinan di SMA lebih baik.

Jinan benar-benar berusaha keras untuk mengejar pelajaran di semester 2 ini, masih teringat jelas bagaimana ayahnya mengamuk karena nilai Jinan banyak yang merah.

Sebenarnya kendalanya karena anak itu sulit sekali untuk fokus saat mengikuti pelajaran di sekolah, dia juga sering mengantuk sebab sering tiba-tiba terbangun dan akhirnya semalaman terjaga.

"Nan, Vi, abis ini kantin bareng yak!" ajak Damar.

Dia salah satu teman barunya Jinan, si ketua kelas, berkulit sawo matang, dengan badan yang tinggi, meskipun tidak setinggi Jinan.

Karena dikelasnya Jinan adalah murid yang paling tinggi, makanya banyak teman-temannya yang menyayangkan keputusan Jinan tak ikut ekskul basket.

"Ayo!" seru Kavi semangat.

Jinan menoleh, "Emang lo udah kelar?" tanyanya.

"Belum si dikit lagi, gapapa lah, laper gue harus isi amunisi dulu" jawab Kavi sambil mengusap perut dan cengengesan.

"Giliran makan aja cepet" cibir Jinan.

Akhirnya bel istirahat yang ditunggu semua murid itu pun berbunyi juga, mereka langsung berhamburan lari ke kantin, dari pintu kantin yang terbuat dari kaca itu, Jinan dan teman-temannya bisa melihat, kantin sudah mulai dipadati murid-murid yang kelaparan.

"Ayo itu mumpung tempat kita masih kosong!" seru Shaka sambil menunjuk tempat yang biasa mereka tempati.

Mereka ikut masuk dan berdesakan dengan murid lain, kalau meja disana sudah penuh biasanya banyak murid yang membawa mangkoknya ke kelas, tapi itu cukup merepotkan sih karena mereka harus mengembalikan mangkoknya lagi nanti, jika hilang atau pecah pun mereka bisa kena denda.

Jinan, Kavi, Damar dan Shaka akhirnya bisa menerobos kerumunan, dan duduk di meja yang mereka inginkan, mereka langsung membagi tugas untuk membeli makan dan minum, hari ini gilirannya Kavi dan Shaka, sedangkan Jinan dan Damar bertugas mengamankan meja.

asa ; jinandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang