Jam alarm hp milik Mahanta terdengar nyaring di ruang kerja kantornya. Mahanta mengalihkan pandangannya sebentar ke hp untuk mematikan alarm. Jam di hp-nya sudah menunjukkan pukul enam malam.
Sejak pagi, tidak ada kata istirahat untuk putra sulung keluarga Adiyawira. Bekerja mulai pagi hingga malam dan lembur adalah hal biasa yang dia lakukan sejak dia mulai berkecimpung di dunia bisnis. Meeting dan lembar-lembar kertas di meja kantornya, sudah menjadi makanan sehari-harinya.
Mahanta masih terus sibuk dengan laptop dan lembar kerjanya. Hari ini pun, ada dua meeting yang harus dia hadiri, sehingga kerja yang harus selesai sore ini menjadi sedikit terhambat.
Hari ini, dia benar-benar melewatkan jam makan siangnya karena banyak yang harus diselesaikan malam ini. Makanan yang dipesankan oleh Farrel saja tidak disentuhnya. Makan siangnya masih berada di dalam plastik putih yang Farrel letakkan di meja. Posisinya bahkan masih sama seperti terakhir kali Farrel meletakkannya.
Sudah menjadi kewajiban bagi Mahanta untuk bekerja keras, memenuhi kebutuhan hidupnya dan adik-adiknya. Sejak sang mama meninggal dunia dan sang papa yang tidak lagi peduli dengan kehidupan mereka, mengharuskan Mahanta—bersama para sulung yang lain—membanting tulang mencari uang sebanyak mungkin.
Jika ditanya, apakah Mahanta membenci papanya, dia masih abu-abu untuk menjawabnya. Dia tidak bisa membenci papanya karena papanya telah memberikan perusahaan. Dia juga tidak bisa membenci papanya karena dia masih ingat, mamanya yang selalu berpesan untuk tidak membenci orang lain dan seorang anak harus berbakti pada orang tuanya. Mahanta masih mengingat pesan-pesan baik yang selalu sang mama sampaikan padanya.
Namun, Mahanta tidak menyukai papanya semenjak memutuskan untuk membeli rumah baru sebagai tempat tinggalnya sendiri. Dia tidak suka sikap papanya yang tidak acuh terhadap kesehatan dan pendidikan adik-adiknya. Dia tidak suka bagaimana dunia malam itu mengubah papanya. Memanggil wanita yang papanya inginkan dan bermain di rumah barunya—yang lebih mewah dari rumah mereka—hanya untuk memenuhi hasratnya semata.
Untuk yang terakhir itu, hanya Mahanta yang tahu tentang perilaku papanya.
Menjadi sulung di sebuah keluarga, sangat sulit dan bukan keinginannya. Kehendak takdir mempunyai alasan yang menginginkan Mahanta untuk menjadi anak laki-laki tertua di keluarganya. Dia tidak menyesali takdirnya. Dia menyayangi adik-adiknya. Dia rela menghabiskan segalanya untuk kehidupan adik-adiknya.
Mahanta rela mengubur mimpinya dan melanjutkan pendidikan sesuai yang dibutuhkan sebuah perusahaan. Mahanta mengurus perusahaan tanpa bantuan langsung dari papanya, setelah dia dinyatakan lulus cumlaude.
Mengalami jatuh bangun yang membuatnya hampir menyerah. Kedua sulung yang lain, tidak tutup mata saat melihat Mahanta yang berusaha mati-matian mengembalikan kehidupan Adiyawira. Farrel dan Natha dengan kelapangannya mengulurkan kedua tangan mereka untuk membantu abang mereka.
Berpikir keras dan bekerja siang malam untuk memajukan perusahaannya hingga sekarang. Semua hasil kerja kerasnya, dia gunakan untuk hidupnya dan adik-adiknya. Dia tidak ingin adik-adiknya memikirkan cara bagaimana mendapatkan uang untuk membiayai sekolah mereka dan hidup mereka sehari-hari. Hingga kini, sebagian dari mereka sudah bisa membantunya meringankan sedikit beban perusahaan yang dia pikul sendiri.
Suara pintu ruangannya terbuka tidak mengusik Mahanta yang masih sibuk. Dia tidak menoleh ke arah pintu karena sudah pasti salah satu saudaranya yang masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Astaga, Abang! Haruskah aku yang suapin Abang? Makanan dibiarin begini," pekik Farrel saat melihat makanan yang dibelikannya tadi tidak disentuh sedikit pun oleh Mahanta.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMOGA BAHAGIA [COMPLETED]
General FictionLahir di keluarga yang lengkap dan sempurna adalah keinginan terbesar Laluna yang hanya bisa dia pendam sedalam-dalamnya. Mungkin, menjadi keinginan yang sulit Laluna cantumkan dalam rangkaian doa yang setiap malam dia rapalkan. Ada satu doa yang se...