05. Terima Kasih Untuk Tidak Memaksa

274 43 0
                                    

Mendengar suara berisik dari luar kamarnya, membuat Luna terbangun. Luna terduduk dan mencoba menyadarkan dirinya. Sedikit terperanjat saat melihat jam di layar hp-nya, sudah jam dua belas siang. Mungkin, hal ini karena dia baru tidur pukul tiga pagi tadi.

Dia keluar kamar dan mendapati Raya yang tengah sibuk dengan peralatan melukisnya di ruang keluarga. Seminggu ini, Raya sedang ujian kenaikan kelas sehingga dia akan selalu pulang lebih awal.

Adiknya itu sangat senang melukis untuk mengisi waktu luangnya. Bagi Raya, dengan melukis bisa mengurangi stres selama ujiannya. Luna berjalan mendekati Raya yang mulai memainkan kuas dengan lihai. Raya yang melihat Luna berjalan ke arahnya pun tersenyum dan melambaikan tangan.

"Baru bangun, Kak?" tanya Raya. Luna hanya mengangguk lemas dan sebenarnya masih mengantuk.

"Nggak belajar?" tanya Luna balik.

"Nanti deh, Kak. Biar pas belajar nggak stres-stres banget," jawab Raya yang masih sibuk dengan lukisannya.

"Dek," panggil Luna setelah memilih tempat duduk di samping Raya.

"Hm?" Raya masih fokus pada kegiatan melukisnya.

"Kamu kangen Mama Papa nggak?" tanya Luna dengan tatapannya fokus pada foto Adiyawira yang terpajang di dinding ruang keluarga.

Foto yang hanya menampilkan sebelas Adiyawira bersaudara, yang tinggal di dalam rumah tersebut. Tidak ada foto bersama Mama maupun Papa.

Raya menghentikan tangannya yang sibuk melukis di atas kanvas. Menatap hasil lukisannya yang belum selesai sempurna. "Kalau Mama, jelas kangen. Apalagi aku nggak pernah ketemu Mama. Kalau Papa sih, nggak kayaknya."

"Kenapa gitu?" tanya Luna lagi.

"Memangnya, Kakak kangen sama orang yang udah nggak peduli lagi sama kita? Orang yang nggak sayang kita? Orang yang udah beda rumah sama kita?" Raya meninggikan suaranya karena pertanyaan tiba-tiba dari Luna, yang membahas tentang orang yang tidak Raya sukai.

Luna tersenyum getir mendengarkan ucapan adiknya. Tanpa Luna menoleh dan menatap adiknya, bisa terbayang bagaimana mata Raya yang penuh dengan rasa tidak suka itu. Dia sedikit banyaknya paham, jika Raya tidak begitu menyukai papa mereka. Mungkin sudah hampir ditahap membenci.

Rasa tidak suka itu membawanya kembali mengenang masa yang begitu menyakitkan. Saat sang papa pernah membentak Raya saat penerimaan rapor kenaikan kelas karena tidak mendapatkan peringkat satu di kelasnya.

Luna ingat, saat itu, Raya begitu terkejut dan menangis, kemudian mengadu padanya saat di rumah. Abang dan kakak mereka tidak ada yang tahu, hanya Luna yang mengetahui sikap papa pada adiknya. Setelah kejadian itu, tidak ada lagi kata sayang dan rindu yang keluar dari mulut Raya untuk papanya.

"Benci banget, ya?" tanya Luna sekali lagi.

"Kak, daripada Kakak bangun terus bahas beginian, mending tidur lagi sana. Istirahat yang lama, biar nanti pas bangun nggak bahas Papa lagi." Raya sedikit kesal dan kembali melanjutkan lukisan yang tertunda karena menjawab pertanyaan Luna.

"Pasti, Dek. Kakak bakal istirahat yang lama kalau udah capek banget sama hidup ini. Tapi, Kakak butuh jawaban kamu untuk pertanyaan yang tadi." Kali ini Luna menatap adiknya yang kembali sibuk dengan kuas dan kanvasnya.

Raya meletakkan kuas cat di atas palet cat miliknya. Menatap Luna dengan lekat. "Kalau aku bilang, aku benci Papa. Kakak bakal gimana?"

Luna menggelengkan kepalanya pelan. "Kakak nggak gimana-gimana. Kamu sayang atau benci ke orang lain, termasuk Papa, pun itu terserah kamu. Itu perasaan kamu. Itu keputusan kamu. Tapi, Kakak ingetin satu hal, Abang dan Kakak nggak pernah ngajarin kita buat benci sama orang lain. Kalau mereka nggak ngajarin, berarti Mama juga nggak ngajarin ke mereka, kan?"

SEMOGA BAHAGIA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang