21. Belum Bahagia

171 16 0
                                    

Ada perempuan yang selalu menjadi perbincangan hangat satu sekolahan yang mengenalnya. Karena kepintarannya yang sulit untuk ditandingi oleh teman seangkatannya, membawanya pada kemenangan yang bisa membuat orang lain bangga. Kecantikan alaminya yang menurun dari sang mama. Rambut hitam yang selalu dikuncir kuda dengan poni tipis yang menutup sisi-sisi dahi. Senyum manisnya yang selalu dapat meneduhkan siapa saja yang melihat.

Juga, karena kehidupannya yang terbilang sangat mewah. Tidak perlu lagi memikirkan harga makanan yang ingin dia makan. Namun, di balik pandangan orang lain tentang dirinya, sebenarnya kehidupannya tidak seindah itu.

Perempuan yang sedari kecil sudah tidak bisa merasakan bagaimana indahnya memiliki orang tua yang lengkap. Mamanya, lebih dulu pergi sebelum melihatnya menjadi anak yang bisa dibanggakan. Papanya, sudah tidak memiliki cinta yang tersisa untuknya. Perempuan itu hanya mendapatkan cinta dan kasih sayang dari abang dan kakaknya. Merasakan sosok figur orang tua dari abang dan kakaknya.

Meskipun penuh dengan cinta dan kasih sayang abang dan kakak, sebuah tekanan dari luar juga menekan hidupnya selama ini. Setiap malam, selalu saja ada hal yang melintas dalam pikirannya. Membuatnya harus mengakhiri harinya dengan lamunan dan tangisan. Sungguh menganggu tidurnya. Hidupnya sudah tidak bisa dibilang sempurna.

Perempuan itu tidak bisa berbicara, menceritakan tentang perasaannya. Dia tidak bisa, berbagi beban yang dia pikul sendirian dengan saudaranya. Dia yang kesulitan mengeluarkan pikiran yang memenuhi kepalanya. Dia yang bahkan hampir kehilangan arah hidupnya sendiri. Dia juga, perempuan yang selalu berusaha mengendalikan dirinya, menenangkan dirinya, menguatkan dirinya untuk tetap bertahan di atas kakinya sendiri. Agar, salah satu keinginannya untuk hidup lebih lama di antara manusia baik-Adiyawira bersaudara-dapat dia capai.

Perempuan yang selalu terlihat kuat dan hidupnya terlihat baik, kini menagih waktunya untuk mengistirahatkan tubuh, hati dan pikirannya. Sudah waktunya, dia menunjukkan pada saudara-saudaranya bahwa dirinya hanya seorang perempuan yang lemah, sangat lemah. Memperlihatkan dirinya yang sedang tidak baik-baik saja. Seorang Laluna Adiyawira yang membutuhkan abang, kakak, dan adiknya untuk membantunya tetap bertahan lebih lama lagi.

Luna belum sadarkan diri. Dan baru pertama kali, Mahanta berani untuk melihat adiknya dari dekat. Rasa bersalahnya semakin besar saat melihat Luna yang masih terbaring dengan begitu banyak luka. Jika waktu bisa diputar kembali, Mahanta akan gunakan waktu itu sebaik mungkin. Dia akan menghabiskan waktunya untuk berbagi banyak hal dengan adiknya. Dia akan mencari tahu apapun tentang adiknya yang belum dia ketahui.

"Dek, katanya kamu ke makan Mama, ya? Sendirian?" tanya Mahanta yang tak kuat menahan air matanya. Untuk kedua kalinya, pertahanan Mahanta hancur di depan adiknya.

"Kenapa nggak minta Abang atau yang lain buat temenin? Abang nggak bakal marah sama kamu. Abang cuma kecewa sama diri Abang sendiri. Kamu kangen sama Mama, tapi Abang nggak tahu."

Mahanta menggenggam tangan Luna. Dia tak sanggup menatap wajah Luna terlalu lama. Itu sangat menyesakkan dadanya. Dia terus menundukkan kepalanya, membiarkan air matanya mengalir tak berhenti. "Dunia jahat banget ya, Dek? Sampai kamu milih istirahat lama gini? Adek, cepat bangun, ya? Coba sekali lagi lawan dunia yang jahat ini, ya, Dek. Kali ini berjuang sama Abang. Kita lawan bareng-bareng hal jahat yang mau lukain kamu."

Penyesalan memang selalu datang di akhir. Maka dari itu, setiap orang perlu berhati-hati pada keputusan yang dipilihnya. Saat penyesalan itu datang, tidak ada lagi yang bisa mengubah yang sudah terjadi. Yang bisa dilakukan hanyalah menerima semua kenyataan.

Seperti penyesalan yang dirasakan oleh anak sulung Adiyawira. Mahanta teringat saat Luna ingin sekali menghabiskan waktunya bersama dirinya. Berjalan-jalan sembari mengobrol bersama atau menonton film di ruang keluarga. Namun, Mahanta terlalu sibuk mementingkan pekerjaannya dibanding meluangkan waktu untuk adiknya sendiri. Dia sungguh menyesal tidak mengabulkan permintaan sederhana adiknya. Dia belum sempat berjalan-jalan dan mengobrol dengan adiknya. Dia juga belum sempat menonton film bersama dengan adiknya. Tanpa dia sadari, sifat egoisnya bisa muncul kapan saja.

SEMOGA BAHAGIA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang