01. Pertemuan Pertama

564 50 1
                                    

Cahaya matahari perlahan mulai meredup. Satu per satu lampu jalanan mulai menyala. Luna berjalan di trotoar, menyusuri jalan tanpa arah. Masih menggunakan seragam dengan sweater sebagai luaran yang melapisi seragamnya, juga tas ransel kecil di punggungnya. Melewati warung pinggir jalan yang sudah mulai ramai pengunjung. Melihat kendaraan yang berlalu lalang dengan kecepatan rata-rata.

Banyak pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya, beberapa dari mereka menawarkan dagangannya pada Luna saat dia melewati mereka. Dia menolak, menggelengkan kepalanya seramah mungkin. Saat di lampu merah, terlihat beberapa pengamen yang bernyanyi untuk mencari uang demi menyambung hidupnya.

Luna dan beberapa orang menyebrang jalan saat lampu merah. Namun naas, entah dari mana ada mobil yang sepertinya mengalami rem blong. Mobil itu menuju ke arah Luna yang posisi jalannya paling belakang.

Beruntung Luna hanya terserempet karena seseorang segera menariknya menjauh dari mobil yang menuju ke arahnya. Luna jatuh terduduk. Dirinya masih terkejut, tidak percaya kejadian yang baru saja terjadi.

Beberapa orang menuntun Luna ke tepi jalan, menjauh dari jalanan. Mereka memeriksa dan menanyakan keadaan Luna, mengajaknya untuk pergi ke rumah sakit. Luna menolak ajakan mereka dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja dan tidak perlu dibawa ke rumah sakit. Memang sepertinya tidak perlu, Luna tidak terluka parah hingga mengeluarkan darah. Hanya rasa nyeri pada pinggul dan kaki kiri bagian atas karena bagian depan mobil mengenainya. Luna tidak tahu bagaimana keadaan mobil yang hampir menabraknya tadi karena beberapa orang mengajaknya menjauh dari sana.

"Ini buat Kakak." Seorang anak perempuan menawarinya sebuah botol mineral. Luna menerima dan meminumnya. Berharap dengan minum, dirinya sedikit lebih tenang.

Luna menoleh ke arah anak perempuan itu, yang sudah duduk di sampingnya. Anak perempuan itu menatap Luna dengan tersenyum. Pakaiannya tidak terlihat mewah, tapi rapi dan cantik. Rambutnya lurus sebahu, tanpa poni.

"Terima kasih," ucap Luna. Dia hanya mengangguk.

"Kakak ada yang terluka atau sakit?"

Luna menggelengkan pelan kepalanya. "Hanya nyeri saja."

"Itu sakit namanya, Kak," sanggah anak perempuan itu. Luna hanya tersenyum tipis mendengarnya. "Bagian mana yang nyeri, Kak?" tanyanya. Luna menunjukkan bagian badannya yang terasa nyeri.

"Ke rumah sakit ya, Kak? Eh, tapi aku nggak punya uang buat ke rumah sakit. Aku panggil Mas Nu aja ya, Kak? Atau Kakak yang hubungi keluarga Kakak aja? Atau langsung panggil ambulan aja biar ke sini?" tanyanya. Luna tersenyum pada anak perempuan yang mengkhawatirkan dirinya.

"Aku nggak apa-apa, kok. Nyerinya nggak parah, masih bisa buat jalan," ujar Luna.

"Beneran, Kak?" tanyanya lagi. Luna hanya mengangguk menanggapinya. Benar-benar seperti anak kecil seusianya.

"Kak, kita duduk agak di sana aja, yuk! Ini dari tadi buat lalu lalang orang lewat, nanti takut nyenggol kaki Kakak," ajak anak perempuan itu.

"Iya, ayo."

Luna sedikit kesulitan untuk bangun karena rasanya sangat nyeri. Dia berjalan sedikit tertatih sampai kursi kayu yang cukup panjang di bawah pohon, yang jaraknya agak jauh dari trotoar. Luna menyernyit menahan sakit saat duduk, ada sedikit rasa tidak nyaman.

"Kakak nggak hubungi keluarga Kakak?"

Luna menggelengkan kepalanya. "Nanti aja, biar aku agak mendingan dulu."

"Oh iya, ini tas Kakak, tadi terlepas waktu Kakak jatuh pas aku tarik." Anak perempuan itu memberikan tas ransel kecil milik Luna.

"Kakak baru pulang sekolah, ya? Keliatan masih pakai rok sekolah soalnya." Anak perempuan itu tertawa canggung. Luna tersenyum dan mengangguk pelan untuk menanggapi.

SEMOGA BAHAGIA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang