Selama ini, semesta telah mengajarkan banyak hal kepada Luna. Salah satu bentuk ajarannya adalah luka. Bukan hanya luka fisiknya, tetapi juga luka batin yang dia terima selama hidupnya. Hingga luka itu berhasil mendewasakan Luna.
Membiarkan luka itu terbentuk dalam hidupnya adalah pilihan yang menyakitkan. Mungkin, menjadi yang paling menyakitkan sepanjang hidupnya. Namun pada akhirnya, sakit itu telah kalah dengan rela yang selalu Luna tanamkan di dalam sudut benaknya. Relanya telah melambungkan bahagia.
Bahagia yang diterimanya telah menyelimuti bekas-bekas lukanya. Sehingga, jika suatu saat nanti ada yang menyentuh lukanya, rasa sakitnya tidak akan sama lagi. Bahagianya juga telah menumbuhkan perasaan damai yang selalu Luna nanti. Tidak ada lagi rasa takut dan gelisah yang menakuti malam sebelum tidur.
Luka dan kenangan buruk yang pernah menetap dalam benaknya, kini telah dia singkirkan ke dalam kotak memori yang tidak akan dia buka lagi. Dia akan mengisi kotak memori yang baru dengan kenangan indah dan bahagia bersama orang-orang baik yang selalu Luna doakan setiap malamnya.
Luna telah berdamai dengan lukanya. Dia berhasil menerima semua takdir yang sudah digariskan untuknya. Dia tidak pernah lagi meminta paksa yang bukan menjadi takdirnya. Dia telah merelakan semua yang terjadi padanya. Dan dirinya telah siap untuk melepas pergi yang masanya telah usai. Luna percaya, semua yang semesta titipkan tidak untuk selamanya. Semua titipan itu adalah pembelajaran penting untuk Luna.
Dari sekian banyak hal yang menjadi takdir hidupnya, memiliki sepuluh saudara adalah nasib paling baik yang telah Tuhan hadirkan untuknya. Mereka adalah alasan Luna bertahan, yang ukuran lebih besar dibandingkan alasan yang lain.
Dulu sekali, ada beberapa hal yang Luna tekankan pada dirinya sendiri. Selelah apa pun hari-harinya, sesakit apa pun luka yang digoreskan pada tubuh dan batinnya, seberapa dalam luka yang dia terima, sebanyak apa pun cairan kental berwarna merah yang dihasilkan dari luka itu, dan semenyedihkan apa hidup Luna yang sebenarnya. Abang dan Kakak tidak boleh ada yang tahu. Cukup kata bahagia yang boleh mereka tahu.
Sekarang, Luna telah disadarkan oleh tiga kata yang pernah kakaknya ucapkan. Tiga kata yang selalu dijanjikan oleh semua abang dan kakaknya dan Luna percaya itu. Membuatnya menjadi yakin untuk mengutarakan isi hatinya, juga membagi beban kepada mereka. Tiga kata itu adalah "Adek nggak sendirian".
Perasaan bahagia yang sedang Luna rasakan, tidak bisa dia sembunyikan di mana pun, ketika melihat senyum yang terukir indah di wajah saudara-saudaranya. Melihat senyum itu sungguh menyejukkan hati yang hampir mati.
Luna amati satu per satu senyum mereka. Dia tatap dengan seksama. Senyum mereka menarik kedua sudut bibirnya. Perasaan sayang yang diudarakan abang dan kakaknya setiap detik, telah Luna rasakan sekarang.
"Adek," panggil Raffan.
Luna menoleh ke arah Raffan yang duduk di samping kirinya. "Iya, Bang?"
"Makasih, ya."
"Untuk apa?"
"Untuk tetap memilih hidup dan bertahan sama kita."
"Abang, kalian udah janji nggak akan biarin aku sendirian lagi, kan. Maka dari itu, aku juga janji akan bertahan sama kalian."
Benar. Abang dan kakaknya telah berjanji. Mereka akan selalu ada di sisi Luna. Memastikan tidak ada hal jahat yang akan membuat adiknya terluka. Karena itu pun, Luna dengan berani mengucapkan janjinya untuk tetap bertahan dari keras dan kejamnya dunia.
Raffan mengacungkan jari kelingkingnya ke arah Luna. Sebagai bukti bahwa keduanya akan saling berjanji satu sama lain dan tidak ada yang boleh mengingkarinya. Luna mengulurkan jari kelingkingnya dan menautkannya. Keduanya tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMOGA BAHAGIA [COMPLETED]
Ficción GeneralLahir di keluarga yang lengkap dan sempurna adalah keinginan terbesar Laluna yang hanya bisa dia pendam sedalam-dalamnya. Mungkin, menjadi keinginan yang sulit Laluna cantumkan dalam rangkaian doa yang setiap malam dia rapalkan. Ada satu doa yang se...