Hari ini, Luna bersama Raffan, Gavin, dan Raya duduk di ruang keluarga dengan satu laptop di meja yang menampilkan halaman web pengumuman hasil seleksi masuk PTN. Sedangkan, abang dan kakaknya yang lain masih di kantor dan hotel tempat mereka bekerja.
Jam sudah menunjukkan pukul 14.55 WIB, yang di mana lima menit lagi pengumuman hasil seleksi akan dapat diakses. Sore itu, hanya ditemani Raffan dan Gavin yang kebetulan tidak ada jadwal masuk kuliah, juga Raya yang sudah pulang dari sekolah.
Jelas bukan Luna yang duduk menghadap laptop secara langsung, melainkan Raffan dan Raya yang duduk di bawah. Sementara, Luna duduk di sofa yang di sampingnya ada Gavin. Sedari tadi, ketiganya—Raffan, Gavin, dan Raya—sangat bersemangat untuk melihat pengumuman. Bersemangat menjadi yang pertama yang akan membanggakan pencapaian Luna jika hasilnya lolos. Menjadi yang pertama yang akan memeluk Luna memberikan kata tetap semangat meski hasilnya nanti tidak lolos. Berbeda dengan mereka, Luna hanya bisa pasrah pada hasilnya. Bersyukur jika memang hasilnya lolos dan bersiap saja jika hasilnya tidak lolos.
"Gila deg-degan parah ini," resah Raffan yang sedari tadi menepuk dadanya. Berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup kencang.
"Sama, Bang. Padahal bukan aku yang mau masuk kuliah," ucap Raya yang sama saja gelisahnya.
"Kok Adek biasa aja sih? Kakak udah tiga kali ke kamar mandi gara-gara nunggu pengumuman ini," ucap Gavin tak terima karena dia yang gelisah dan bukan Luna.
"Ya iyalah, orang Kak Luna aja pinter. Jadi, dia yakin bakal keterima."
"Aku juga gelisah, kok. Banyak rasa pasrahnya juga sih, bakal keterima apa enggak," jawab Luna pasrah.
"Pasti ke-" ucap Gavin belum selesai.
"Woy! Udah jam tiga. Abang buka, ya," sela Raffan saat jam di laptop sudah tepat menunjukkan pukul 15.00 WIB.
Saat Raffan menekan opsi "Lihat Hasil" di halaman web, muncul hasil pengumuman yang menampilkan hasil lolos.
Ketiganya berhamburan memeluk Luna dan mengucapkan kata selamat. Luna hanya tersenyum saat ketiganya yang memeluknya secara bersamaan dan mendengar kata-kata yang selalu ingin dia dengarkan.
Tersenyum tipis saat melihat layar laptop yang menampilkan hasilnya. Luna lolos masuk ke jurusan Pendidikan Kedokteran. Luna tidak bermaksud membenci pilihan jurusannya saat ini. Lolos dan masuk jurusan kedokteran adalah hal yang sangat patut dibanggakan. Tetapi, ini bukan impian Luna. Bukan murni keinginannya.
"Keren banget adek kita ini," ucap Raffan setelah melepas pelukannya. "Kita harus telepon Abang sama Kakak," lanjutnya.
Kemudian, mengambil hp yang ada di meja. Melakukan panggilan grup keluarga, mengabari agar semua tahu jika Luna lolos. Selang beberapa detik, menampilkan wajah-wajah abang dan kakaknya.
"Gimana hasilnya, Dek?" tanya Natha di seberang telepon sana.
"Ya ampun, Kak, Luna lolos," jawab Raffan.
"Widih! Keren banget mau jadi dokter," ungkap Damian dengan bangga.
"Iya, Kak. Adek kita mau jadi dokter beneran," ucap Gavin kali ini.
"Kita seneng banget tahu, Kak, pas hasilnya muncul. Kak Luna keterima." Kali ini Raya yang tak mau kalah mengungkapkan kebahagiaannya.
"Woy! Yang ditanya Luna bukan kalian, ya. Mending diem dulu," celetuk Alzura yang tidak tahan melihat ketiga adiknya yang terus berbicara. Sedangkan, Luna dan yang lain hanya tertawa melihat kelakuan mereka.
"Hasilnya lolos, Bang, Kak. Makasih, ya, buat doa-doanya." Kali ini Luna yang mengucapkan dengan senyum yang merekah di wajahnya.
"Ini semua juga berkat usaha Adek, kok. Adek hebat!" Farrel mengacungkan jempolnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMOGA BAHAGIA [COMPLETED]
Ficción GeneralLahir di keluarga yang lengkap dan sempurna adalah keinginan terbesar Laluna yang hanya bisa dia pendam sedalam-dalamnya. Mungkin, menjadi keinginan yang sulit Laluna cantumkan dalam rangkaian doa yang setiap malam dia rapalkan. Ada satu doa yang se...