13. Tak Ingin Kehilangan

220 35 3
                                    

Luna menatap cermin yang memantulkan dirinya. Beruntung tamparan itu tidak menimbulkan bekas memar. Obat salep yang diberikan pelayan rumah kepadanya masih dia simpan. Tidak dia gunakan karena tidak ada bekas.

Abang dan kakaknya tidak ada yang curiga pada Luna yang pulang agak larut. Malam itu, Luna tidak langsung pulang. Dia menuju taman depan perumahan lebih dulu untuk menenangkan dirinya.

Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian hari itu, tetapi rasa nyeri masih terasa di tubuhnya. Semenjak kejadian itu, Luna semakin kacau. Dia tidak bisa fokus belajar untuk UAS. Setiap malam, dia harus menahan rasa nyeri yang luar biasa sehingga sangat mengganggu belajarnya. Gerak sedikit, terasa sakit bagi Luna. Luna tidak bisa izin atau pun membolos, karena hari ini adalah hari pertama UAS di fakultasnya. Luna akan melakukannya dengan sisa kekuatan yang dia miliki.

Terdengar suara ketukan pintu, kemudian pintu terbuka memunculkan Raya di ujung pintu. "Ayo sarapan, Kak! Hari ini menu kita sayur sop, lauknya tahu dan tempe buatan Kak Natha. Nanti Kak Yasa yang nganter kita."

"Iya, mau masukin buku ke tas dulu."

"Oke deh!" Raya menutup pintu dan pergi ke ruang makan terlebih dahulu.

Saat hari biasa, jika Luna ada kelas pagi, Raya yang akan menghampiri dan mengajaknya untuk segera ke ruang makan. Menyebutkan menu sarapan dan nama salah satu abang atau kakak yang akan mengantar mereka berdua. Raya selalu melakukannya semenjak Luna masih SMA. Luna selalu dibuat gemas setiap kali Raya melakukannya.

Jika dia teringat pada Raya, dalam hatinya selalu muncul rasa untuk melindungi adik kecilnya. Dia tak ingin ada yang menyakiti adik kesayangannya.

Di ruang makan, semua Adiyawira bersaudara telah berkumpul mengelilingi meja makan. Menu yang disajikan di meja makan seperti yang dikatakan Raya. Luna ikut bergabung. Luna sedikit menyernyit nyeri dan memegang pundak kirinya saat menarik kursi untuk dirinya.

"Adek sakit?" tanya Albara.

Luna menengok ke arah suara Albara, menyadari ternyata dirinya yang sedang ditanya. Luna juga menyadari saat semua mata kini tertuju padanya. "Enggak kok, Kak."

"Terus, kenapa megang pundak terus sejak dari keluar kamar tadi?"

Luna sedikit gelagapan saat Albara menyadari ada yang salah dengannya. "Cuma pegal, Kak. Salah posisi tidur semalam."

"Ketiduran karena belajar, ya, sampai salah posisi gitu?" Kini giliran Mahanta yang menebak. Luna mengangguk saja agar tidak ada yang bertanya lebih banyak padanya.

Hanya obrolan kecil sesekali yang terdengar di sela sarapan. Seperti, Gavin yang izin akan pulang terlambat karena ada latihan band dan Raya yang izin pulang bersama temannya karena ada tugas kelompok yang harus diselesaikan bersama. Sisanya, mereka semua fokus pada sarapan.

Setelah selesai sarapan, semua Adiyawira bersaudara berangkat bersamaan dengan kendaraan masing-masing. Kecuali Yasa yang harus mengantarkan Raya sekolah dan Luna kuliah.

Di sepanjang perjalanan, Luna memilih untuk menutup matanya. Yasa yang melihatnya hanya mengira jika Luna sedang tidur karena kelelahan belajar semalaman.

Sebenarnya bukan karena kelelahan atau pun mengantuk, tetapi dirinya sedang menahan nyeri di pundaknya. Semakin banyak bergerak, nyerinya akan semakin terasa. Efek tendangan kuat papanya masih terasa nyeri meski sudah berhari-hari yang lalu.

Sepanjang jalan, Luna hanya mendengarkan Raya yang mengobrol dengan Yasa. Setelah Raya turun saat sudah sampai di sekolahnya, tidak ada suara lagi yang terdengar hingga sampai depan fakultasnya. Luna berpamitan dengan Yasa dan segera turun untuk menuju kelas.

SEMOGA BAHAGIA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang