23-

43 3 0
                                    

Pagi ini Karla terdiam membeku di tempatnya.

"Kamu jangan pernah siksa dia lagi Darel!" Bentak Nataela.

"Aku tidak merasa pernah menyiksanya nyonya Nataela," Darel tersenyum miring.

"Kamu sudah menyiksa batin dan mentalnya, orang tua macam apa kamu hah!?" Cerca Nataela.

"Lalu bagaimana dengan anda sendiri?" Darel mengangkat satu alisnya. "Apakah anda sudah sangat baik dalam merawat yang anda sebut anak itu? Sedangkan kamu selalu pergi ke kantor." Darel mendecih sarkas dengan satu alis yang terangkat.

"Itu supaya nanti kalau kita cerai aku bisa mencukupi kebutuhannya lebih dari pada kamu, dia butuh les piano nya bukan les angka!" Nataela mengeratkan kepalan tangannya dengan alis yang menikuk tajam.

Darel tertawa, tawa mencemooh yang nyata. Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali sambil berdrcak, "anak pungut saja kamu bela-bela sampai sebegitunya, ya?"

"Jaga bicara kamu!"

"Aku mengatakan yang sebenarnya, yang sejujurnya."

Seperti ada sebuah bongkahan es yang menjeblos dadanya, sakit. Tangannya ia kepalkan dengan begitu kuat, berharap dapat menahan rasa sakit yang kelewat batas di pusat dadanya. Matanya memanas, kepalanya pusing. Tidak dapat berhenti untuk berfikir.

"Kita tidak akan mengadopsi seorang anak jika kita berdua bisa menghasilkannya," smirik licik muncul dengan penuh kemenangan. Senyum meremehkan luntur dari bibir Darel.

"Sayang sekali.." Nataela memainkan kuku-kukunya, "salah satu dari kita tidak subur, yang jelas bukan aku." Desisnya tajam.

Darel meremat kepalannya menahan gejolak emosi. "Pergi kamu!" Sentaknya tajam. Ego nya telah terluka.

"Ma..pa.." baik Nataela maupun Darel, kepala mereka tertoleh terkejut. Dentuman jantung dengan cepat menguasai tubuh Nataela, ia lemas. "Jadi.."

Jeda.

"..aku bukan anak kalian?" Kepalanya tegak, menatap lurus Darel dan Nataela.

"Sayang.." Nataela berjalan mendekat dengan perasaan campur aduk. "..kamu anak mama," tidak dapat dipungkiri rasa yang benar-benar abstrak menyakiti rongga dadanya. Ia menangkup pipi anaknya dengan air mata yang siap jatuh.

Karla memejamkan mata, merasakan belaian disekitar pipinya. Lalu meneteskan air mata, merasakan nyeri yang benar-benar pedih di dadanya. "Orang tua kandung aku siapa?"

Ada jeda yang terasa aneh disana, baik Nataela maupun Darel mereka sama-sama bungkam. "Jangan.." lirihnya "..jangan lagi.." pedihnya "..jangan..bohongi Karla lagi.." tuntasnya.

Nataela sudah hendak membuka mulutnya kemudian kembali menutupnya, ragu untuk berbicara.

"Seharusnya Karla sadar, bukannya merasa tersakiti karena kurang kasih sayang. Karena dari awal emang udah gak pantes.." kapalan tangan yang semakin kuat dan buliran bening yang semakin deras. "..Karla berharap,"

Seperti balok es yang menohok ulu hatinya, Nataela tidak bisa untuk tidak ikut meneteskan buliran bening. "Karla..mama sayang kamu, jangan tinggalin mama ya?" Satu pertanyaan yang sama persis seperti serpihan kaca, menggores setiap rongga dadanya.

Empat Negatif || 4-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang