●
Key sudah beberapa kali mencoba memejamkan matanya, dan ini yang keseribu kali ia melakukannya. Pelupuk matanya menolak untuk membawa indra penglihatan pada tempat dimana semuanya adalah kembang tidur.
Key bergerak gusar, misuh-misuh tidak jelas dan mengacak rambutnya frustasi. Akhirnya ia bangkit dan duduk di atas tepian ranjang. Mengusap matanya yang justru terasa pekat, lalu kakinya melangkah dan membuka pintu kamarnya.
Melihat pintu kamar Karla yang sudah tertutup rapat, tidak ada tanda-tanda jika penghuninya masih beraktifitas. Key mengambil gelas dan mengisinya dengan air, meneguk hingga tandas.
Lalu matanya tidak sengaja jatuh pada sela bawah pintu kamar Karla, lampunya masih menyala. Ada dua kemungkinan yang ada di benak Key.
Dia memang tidur dengan lampu menyala, atau dia memang belum tidur dan sekarang masih mengerjakan soal-soal untuk mengasah otak. Key sedikit berdehem, lalu membuka suara.
"Karla," hening, tidak ada jawaban dari dalam. "Ee..lo udah tidur?" Ada jeda yang benar kentara disana, sampai otak Key mengatakan gadis itu sudah tertidur.
"Belum," sahutan yang tiba-tiba terdengar dari dalam kamar Karla, Key baru saja akan membuka pintu kamarnya langsung berbalik.
"Lo bisa tidur?" Tanya si seksi keamanan.
"Ya menurut lo aja," jawab sang pianis sewot, sebab pertanyaan Key yang benar-benar retoris. Key tampak canggung, gadis itu mengusap tengkuknya lalu mengurungkan niat untuk kembali masuk ke dalam kamar.
Key duduk di tempat yang di yakini adalah ruang tamu. Tempat ini adalah asrama, tapi lebih mirip kosan. Key melirik kesekitar, lalu matanya menemukan jam dinding. Pukul sudah menunjukkan jam sebelas malam, lalu gadis itu menghela nafas berat.
Menyandarkan punggungnya pada sofa, lalu memejamkan mata. "Lo masih belajar?" Tanya Key spontanitas.
Wujud gadis yang tengah berbaring di atas kasurnya tampak memutar bola matanya malas, lalu meletakkan buku pelajarannya tepat disebelah tubuh gadis itu. "Gak," balasnya ketus, lalu mengambil kembali buku-buku pelajarannya.
"Gak usah di paksain, semuanya gak melulu harus tentang kesempurnaan—kan" celetuk Key yang tiba-tiba menarik bagian dari diri Karla, untuk ikut pada gadis itu.
"Semuanya emang gak harus tentang sempurna, tapi sempurna pasti tentang semuanya." Gadis itu menghela tanpa sadar, kembali meletakkan buku-bukunya ke atas kasur. Lalu menemukan pantulan wajahnya pada cermin.
"Bahkan sebaik dan sesempurna apa diri lo, gak akan buat mereka puas. Jika harapan mereka yang terlalu tinggi, dam orang-orang yang di harapain bakalan hawatir gak bisa wujutin." menatap setiap lekukan wajahnya yang benar-benar menawan, wajah yang sebenarnya wajah bayi. Imut, tapi dipaksa terlihat dewasa. Hingga pipinya tidak terlihat tembam lagi.
"Kalau gitu, itu semua salah mereka dong, karena terlalu berharap tinggi? Semua manusia punya porsinya sendiri, mereka gak bisa maksain kehendak. Kalaupun itu mau mereka, seharusnya lakuin sendiri kalau gak mau kecewa. Gak perlu repot ngeharapin orang." Dengus Key, sebuah kalimat penenang yang lebih mirip sarkastik.
Karla tertegun, dadanya seperti dijebloskan balok es. Karla menyadari, orang yang sekarang berbicara padanya. Berpisah antara tembok beton dan atmotfer, ia adalah gadis yang mau dan karena dia bisa. Bukan karena harus.

KAMU SEDANG MEMBACA
Empat Negatif || 4-
Teen Fiction{Empat Negatif [4-]} Ke empat siswa dengan luka terdalamnya, terkekang dalam sebuah misteri yang menghantui. Kehancuran keluarga yang menggores kelewat dalam hingga susah untuk di sembuhkan. Kisah cinta yang rumit tanpa ujung. Menyusun kembali puing...