Dunia ini ibarat panggung sandiwara, siapapun bisa menjadi pemeran utamanya. Kali ini, Lexi lah yang memerankan posisi itu. Seperti 'katanya', Lexi harus memainkan perannya dengan baik untuk membalas orang-orang jahat itu.
-
Start : 16 Februari 2024...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
• • •
"Kerja begini aja nggak becus!"
Langkah Lexi terhenti mendengar suara Carissa. Buru-buru ia menyembunyikan diri di balik lemari kaca tempat menyimpan barang-barang yang terbuat dari keramik. Dari sana, dia bisa melihat Carissa yang mendorong-dorong kening seorang pelayan dengan telunjuknya.
"Makanya kalo kerja otak dipake!"
Si pelayan hanya bisa pasrah saat tangan Carissa beralih mencengkram dagunya kuat lalu menampar pipinya keras hingga kepalanya tertoleh ke samping. Lexi bisa merasakan betapa sakitnya itu.
Carissa menyeringai puas melihat bekas tangannya di pipi pelayan itu sebelum beranjak dari sana.
Selepas kepergian istri Barra, beberapa pelayan yang sejak tadi bersembunyi kini menghampiri pelayan itu dan mengerumuninya. Lexi yang penasaran lantas mendekati mereka.
"Kamu gapapa?"
"Itu pasti sakit, suara tamparannya kenceng banget tadi."
"Sampe merah gini."
"Ya ampun jahat banget tuh medusa!"
Suara-suara itu mendadak lenyap begitu Lexi mendekat. Kelimanya segera menunduk sopan. Salah satunya angkat bicara. "Ada yang bisa kami bantu, Nona?"
Alih-alih menjawab, Lexi justru bertanya, "Kalian sering diginiin ya?"
Kelima pelayan itu saling melirik satu sama lain seolah meminta persetujuan masing-masing untuk buka suara. Pada akhirnya, mereka kompak mengangguk.
"Kalian nggak pengen keluar?" Lexi heran mengapa kelima pelayan itu tetap bertahan di kediaman ini meski sering diperlakukan buruk oleh nyonya mereka.
Terdengar helaan nafas lelah. "Tentu saja! Tapi, wanita itu tidak akan membiarkan kita lolos dari cengkramannya."
Sebuah ide tiba-tiba terlintas di benak Lexi. Dia menjetikkan jarinya. "Aku tau gimana caranya agar kalian bisa keluar dari sini."
Kelima wanita dengan pakaian khas seorang pelayan itu menyorot Lexi serius lalu mengerumuni gadis itu. Beberapa saat kemudian, mereka membubarkan diri sembari menahan senyum geli membayangkan rencana mereka.
Lexi lantas menghubungi sekretaris Hanz, mengatakan kalau besok dia tidak bisa datang ke arena tembakan serta alasannya tanpa berbohong.
"Apa saya perlu membantu anda juga, Nona?" Sekretaris Hanz menawarkan bantuan.
"Gampang. Kalau butuh bantuan, aku akan memanggil anda," tolak Lexi halus.
"Dimengerti."
Panggilan ditutup. Lexi mengantongi ponselnya kembali untuk meneruskan langkah. Gadis itu membuka pintu kamarnya bertepatan dengan pintu kamar Raffan terbuka. Otomatis mereka saling memandang satu sama lain hingga kemudian Lexi melempar senyum tipis pada pemuda itu sebelum tubuhnya sepenuhnya masuk ke dalam kamar. Namun, suara Raffan berhasil menahan langkahnya.