Dunia ini ibarat panggung sandiwara, siapapun bisa menjadi pemeran utamanya. Kali ini, Lexi lah yang memerankan posisi itu. Seperti 'katanya', Lexi harus memainkan perannya dengan baik untuk membalas orang-orang jahat itu.
-
Start : 16 Februari 2024...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
• • •
Carissa melangkah lembut menuju tepi kolam. Sore itu, langit berwarna jingga keemasan, menciptakan refleksi yang indah di permukaan air. Wanita itu melepas jubah renangnya, memperlihatkan baju renang biru tua yang kontras dengan dengan kulitnya yang terbakar matahari.
Dengan gerakan anggun, Carissa melompat ke dalam kolam, menyebabkan air menyiprat dan menciptakan gelombang kecil. Sensai air yang sejuk langsung membelai kulitnya, memberikan rasa segar yang menyenangkan setelah hari yang panas. Dia mulai berenang, gerakan tangan dan kaki yang menendang air menciptakan suara berirama yang menenangkan.
Carissa berenang dari satu ujung kolam ke ujung lainnya, merasakan otot-ototnya bekerja dan jantungnya berdebar kencang. Sesekali, istri Barra itu muncul ke permukaan untuk mengambil napas, kemudian kembali menyelam, melanjutkan gerakannya layaknya seekor lumba yang meliuk-liuk di tengah samudra.
Saat matahari mulai terbenam dan langit berubah menjadi warna ungu dan merah muda, Carissa berhenti berenang dan mengapung di tengah kolam. Dengan mata tertutup, sang hawa merasakan sinar matahari terakhir hari ini menyapu permukaan kulitnya, memberi rasa hangat yang menenangkan. Namun, itu tidak berlangsung lama karena suara seseorang yang menyambangi telinganya mengganggunya.
“Nyonya, ada kirimin surat untuk anda.”
Carissa membuka mata dan mendapati salah satu bodyguard berdiri di sisi lain kolam dengan memegang sesuatu berwarna putih di tangan kanannya.
“Surat?” Carissa tak segera beranjak. Dari tempatnya, wanita itu melihat si pria menganggukkan kepala.
“Benar, Nyonya. Tadi tukang pos yang mengantarnya,” terang pria dengan setelan hitam-hitam itu jujur.
Carissa tertawa akan informasi yang disampaikan pria itu. Di zaman sekarang, siapa pula yang masih suka menulis surat? Konyol.
“Saya letakan di sini ya, Nyonya,” cetusnya menghentikan tawa Carissa. Lalu, tanpa mengurangi rasa hormat, pria itu segera undur diri.
Saat sosoknya sudah menghilang ditelan pintu, satunya-satunya menantu perempuan dalam keluarga Dityatama itu barulah berenang naik ke daratan. Dia meraup wajahnya guna menghapus jejak air yang tersisa. Ujung rambutnya yang basah juga terus meneteskan air.
“Beneran surat?” Carissa mengambil amplop putih dengan garis tepi berwarna merah dan biru. Wanita itu tercenung membaca namanya sendiri yang disertai alamat lengkap tertulis di sana, tapi tak ada nama si pengirim. Seolah tak ingin Carissa tahu siapa dirinya. Keningnya mengernyit. Bersamaan dengan itu, perasaan tidak nyaman seketika menyergapnya.
Tanpa berpikir lama, Carissa segera membuka amplop yang dikirim oleh pengirim anonim tersebut. Ada secarik kertas yang dilipat rapi di dalamnya. Dengan rasa penasaran yang tinggi, dia pun membaca isi suratnya.
19.00 pm
Carissa sungguh tak habis pikir. Si pengirim anonim ini repot-repot mengiriminya surat hanya untuk menuliskan waktu. Apa orang itu sedang bercanda? Sepertinya dia memiliki selera humor yang aneh.